Skip to main content

PARARA dan Peran Generasi Muda dalam Mewujudkan Produk Lokal Berkelanjutan


Di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini rupanya tak jua luput dari masalah ketersediaan pangan. Apalagi jika kita melihat proyeksi data dari UN World Population Prospect di mana dikatakan bahwa di tahun 2050 Indonesia akan mengalami lonjakan penduduk dari 286 juta menjadi 321 juta jiwa. 

Di satu sisi kita mendapat bonus demografi yang bisa menjadi peluang strategis, tapi di sisi lain lonjakan ini tentunya menuntut jumlah kebutuhan pangan yang juga besar.

Permasalahannya adalah berbagai tantangan terkait kebutuhan pangan masih saja menghantui negeri ini. Sebut saja soal perubahan iklim dan bencana alam yang kian hari kian sulit diprediksi. 

Selain iklim, kita juga dihadapkan dengan persoalan keterbatasan lahan dan sumber daya manusia. Orang sekarang lebih memilih menjual tanah atau lahan untuk hal lain sementara itu generasi muda yang mau menjadi petani jumlahnya semakin sedikit. 

Kondisi semacam inilah yang menggerakkan para LSM baik lokal maupun nasional mengambil langkah strategis melalui berbagai program inisiatif yang salah satunya adalah festival PARARA atau Pekan Raya Nusantara. 

Di bentuk tahun 2015, PARARA menjadi wadah untuk menampilkan sekaligus mengkampanyekan pentingnya  produk-produk lokal baik dari komunitas maupun masyarakat adat.

Festival ini diselenggarakan setiap 2 tahun sekali dan tahun 2025 ini merupakan penyelenggaraan yang ke 6. Jika tahun lalu diselenggarakan di Kota Kasablanka, maka tahun ini mereka melirik salah satu central point yang tengah hits di Jakarta yaitu Taman Literasi Blok M.

Hal ini dinilai menjadi salah satu strategi jitu untuk memperkenalkan gerakan baik ini kepada Gen Z dan kawula muda. Anak muda sebagai generasi penerus dinilai memiliki peranan yang cukup penting dalam  program ketahanan pangan, karenanya keterlibatan mereka sudah tentu sangat dibutuhkan dan bahkan menjadi sebuah tuntutan.

Melalui festival ini PARARA ingin menanamkan arti pentingnya produk lokal berkelanjutan yang dibuat oleh komunitas lokal. PARARA juga menitikberatkan pada skema produksi yang berkelanjutan serta pentingnya memulai gaya hidup berkelanjutan.

Talkshow Literasi Pangan Lokal

Mini festival yang berlangsung selama 2 hari mulai dari 12 hingga 13 September ini mencakup berbagai kegiatan diantaranya pameran produk kreatif PARARA, talkshow, workshop, demo memasak hingga live music. Salah satu talkshow literasi pangan lokal menarik yang saya ikuti bertema “Generasi Muda dan Transformasi Sistem Pangan Berkelanjutan”.

talkshow literasi pangan lokal


Talkshow
ini menghadirkan 3 narasumber yang berasal dari perwakilan Konsorsium PARARA di antaranya Febriana Reminissere selaku Media & Communication Officer Indonesia Organic Alliance, Ari Moch Arif dari Climate & Energy Lead WWF Indonesia dan Akhmad Zainal Mubarak selaku Agroecosystem team dari KEHATI.

Dalam pemaparannya Ari Moch Arif menyebut bahwa berdasarkan data BPS, 70% anak muda enggan bercita-cita menjadi petani sementara itu sebuah survey lain juga menyatakan bahwa minat mahasiswa IPB untuk bergelut sebagai petani relatif rendah. 

Data lain juga menyebutkan bahwa jumlah petani muda di Indonesia ada sekitar 21,93 persen atau sekitar 6 juta orang. Itupun jika dihitung sedari 2017 hingga 2022 angkanya terus mengalami penurunan.

Meski data yang dipaparkan terkesan mengkhawatirkan namun Arif juga menyoroti sisi lain pertanian sebagai agribisnis.  Jangkauan agribisnis ini lebih luas. Jika petani hanya mengelola, mengolah lahan pertanian dan menjual maka pelaku agribisnis mencakup kegiatan pra  pertanian, mulai dari ketersediaan pupuk, pestisida dan teknologi hingga pasca pengolahan seperti perdagangan, logistik hingga pasar (marketplace) dengan berbagai sentuhan teknologi.

Jika berfokus pada agribisnis, Arif optimis banyak generasi muda yang bisa masuk dan tertarik untuk terlibat dan mengambil peran di dalamnya. Meski begitu tantangan tetap muncul, salah satunya adalah  apakah iklim dan anomali cuaca yang terjadi saat ini memungkinkan untuk membangun pangan yang sehat ataukah tidak.

Jika kita melihat kondisi saat ini memang banyak resiko yang mungkin bisa didapat petani, di antaranya gagal panen karena cuaca atau hujan. “Kita bicara mengenai ketahanan pangan tapi kita lalai terhadap isu perubahan iklim.” Arif menyoroti pentingnya keterlibatan institusi pembiayaan untuk mengembangkan rantai pasok pertanian yang cerdas iklim.

Akhmad Zainal Mubarak juga menyatakan optimisme bahwa generasi muda bisa mengambil peran dan menjadi agen aktif meski terkadang masih sering didiskriminasi. Zainal juga berpendapat bahwa generasi mudah butuh disupport dan dilibatkan. Salah satu bentuk keterlibatan generasi muda adalah seperti konsep Bunga Partisipasi.

Bunga Partisipasi bisa diartikan sebagai sebuah alat yang menggambarkan bentuk-bentuk Partisipasi Orang Muda yang Bermakna (POMB) dan bagaimana POMB dapat tumbuh serta berkembang melalui metafora bunga yang sedang mekar. (choiceofyouth.org)

Dalam konsep Bunga Partisipasi ada beberapa penggambaran elemen seperti contohnya udara yang bermakna inklusivitas bagi keragaman anak muda itu sendiri. Elemen tanah sendiri bermakna komitmen dari orang muda sementara Akar merupakan inti dari POMB di mana dikatakan bahwa akar membuat bunga dapat menyerap air dan nutrisi dari tanah sembari menjaga tubuhnya tetap tegak.

Jika kita melihat elemen pada sekuntum bunga maka hadir pula serangga yang selalu mengitari. Dalam hal ini serangga diartikan sebagai partisipasi orang muda yang tidak bermakna. Mereka terlihat seperti bermakna yang padahal hanya di permukaan. 

Talkshow yang berlangsung kurang lebih selama 1.5 jam ini diakhiri dengan sesi tanya jawab baik dengan peserta offline maupun online. Banyak insight baru yang saya dapat dan banyak pula action kecil dan sederhana yang bisa saya mulai dari rumah dan dari diri sendiri. Contohnya seperti membawa tumbler ketika berpergian hingga mulai menanam tanaman di pekarangan rumah. 

Workshop Literasi Kain Nusantara

Rangkaian acara PARARA sangatlah menarik untuk diikuti. Puas belajar terkait ketahanan pangan lokal saya lanjut ke acara kedua yaitu workshop literasi kain nusantara dengan tema, “Diskusi Buku “Puan Maestro” dan Kreasi Fashion Gen Z dengan Wastra Indonesia.

Diskusi buku Puan Maestro berlangsung tertib dengan narasumber bersama Adinindyah dari Teras Mitra. Beliau banyak bercerita mengenai kain tenun dari berbagai daerah seperti NTB, NTT dan Sulawesi Selatan.

Adinindyah menyoroti seputar benang yang dipakai untuk menenun di mana di jaman dulu masih banyak yang menggunakan benang dari kapas yang ditanam dari pekarangan rumah. Kini kondisi sudah berbeda, para penenun lebih banyak yang menggunakan dan membeli benang jadi.

Kain tenun sendiri mengalami proses pembuatan yang lumayan panjang dan memakan waktu yang cukup lama. Pada prosesnya, pembuatan tenun banyak menyerap ide dari warna alam dan komponen komponen alami untuk pewarnaan. Dari proses yang begitu panjang dan rumit, tak ayal jika harga tenun tergolong sangat tinggi. 

Dari kain tenun itulah para penenun dapat menggerakkan roda ekonomi keluarga mereka. Salah satu daerah di NTT yang terbantu oleh tenun adalah Amanatun. Sebuah daerah di mana masyarakatnya hidup di bawah garis kemiskinan dengan kondisi daerah yang  gersang karena jarang disentuh oleh hujan (1 bulan dalam 1 tahun). 

Menurut penuturan Adinindya kain tenun yang mereka buat bahkan bisa dipakai untuk menyekolahkan anak hingga S3. Harga satu kain tenun sendiri tidak murah, berkisar di atas 6 juta rupiah. Dalam kata lain tenun bisa berfungsi sebagai tabungan yang nantinya bisa dijual untuk berbagai kebutuhan termasuk salah satunya pendidikan.

Lebih jauh tenun ternyata bisa menjadi sebuah jalan perjuangan seperti contohnya menghapus stigma dan mengusir penambang marmer. Kasus stigma ini salah satunya dialami oleh penenun di daerah Sulawesi Tengah (Palu). 

Beberapa warga lokal ternyata punya garis keturunan atau silsilah keluarga yang masih terkait dengan PKI. Stigma yang mereka dapat dari masyarakat membuat mereka kesulitan mendapat kerja di ranah formal. Dengan menjadi penenun lambat laun stigma tersebut mulai dilupakan dan mereka lebih dikenal sebagai penenun.

Sementara itu contoh perjuangan lain adalah keberanian mama Aleta dalam mengusir para penambang marmer. Mama Aleta bersama ibu-ibu yang lain menenun di atas batu yang akan ditambang dari pagi hingga pukul 4 sore sehingga perusahan tambang kesulitan untuk beroperasi.

Mereka ingin menunjukkan bahwa kelestarian hutan penting untuk masyarakat di sana. Semua komponen untuk menenun baik kapas, alat tenun hingga pewarna mereka dapat dari hutan. Merusak hutan sama artinya dengan merusak sumber mata pencaharian.

Mama Aleta adalah satu perempuan pejuang bagi daerahnya, ia ingin menunjukkan bahwa masyarakat di sana mampu hidup mandiri dengan menenun dan hidup berdampingan dengan alam. 

Karena keterbatasan waktu maka diskusi pun dilanjut dengan kegiatan kreasi fashion ala Gen Z yang dipraktikkan langsung oleh Nana Lystiani dan Poppy Barkah selaku perwakilan dari Perkumpulan Wastra Indonesia. 

praktik kreasi wastra

Nana mengajak salah satu peserta untuk menjadi model. Ia lalu mempraktekkan beberapa cara mengkreasikan wastra yang tetap update dan sesuai perkembangan jaman.

Ternyata dengan sedikit trik, wastra tanpa harus dijahit pun bisa dipakai dan dikreasikan dengan cantik! Tanpa disadari ternyata saya dan para peserta workshop diajak merayakan Hari Tenun Nasional  bersama PARARA. Rasanya semakin bangga saja menjadi warga negara Indonesia dengan kebudayaan dan kekayaan wastranya!

bersama teman-teman blogger 


Hai, saya Ire. Bagi saya hidup adalah lifelong learning, pembelajaran yang tiada akhir. Melalui blog ini mari sama-sama belajar sembari sesekali bercerita mengenai kisah perjalanan hidup yang sudah saya lewati :)

Comments