Skip to main content

Bagaimana Aku Jatuh Cinta dengan Hotel Kapsul


Aku kembali menginap di hotel kapsul! Kali ini sepertinya the real kapsul! Sebenarnya aku kurang paham mana saja yang termasuk hotel kapsul. Apakah yang hanya bisa ditempati seukuran satu orang manusia? kecil, unyu dan punya sharing bathroom?

Ya, tapi aku menyukainya. Setelah dulu mencoba menginap di hotel kapsul di daerah Bandung yang tutupnya menggunakan roller blind, akhirnya aku benar-benar menginap di hotel kapsul beberapa minggu lalu. Kali ini benar kapsul. Bukan hostel dengan ranjang bertingkat -dan orang bebas melihat wajahmu ketika tidur- seperti di Singapore dulu, tapi benar-benar kapsul.


Lucu sekali hotel kapsul ini, kecil, punya lampu yang bisa diganti warna, colokan listrik dan beberapa tombol pengaturan lain yang saya lupa apa saja fungsinya, sebuah bantal dan sebuah selimut. Di luar itu aku merasa si kapsul ini terlihat seperti kamar tidur di pesawat luar angkasa. 

Aku nyaman berada di dalamnya, aku betah dikala terjaga tapi juga mudah saja terlelap ketika kantuk menyapa. Aku tak keberatan dengan ukurannya yang kecil, atau kamar mandinya yang harus sharing dengan pengguna lain, hanya saja soal suara memang sedikit menyebalkan. Aku bisa mendengar seorang perempuan berbincang dalam bahasa inggris -yang entah dari kapsul yang mana. Itu artinya  mereka juga bisa mendengar ketika aku menelpon.

Selebihnya aku suka. Terlebih dengan kunci model kartu untuk masuk ke kamar, ke loker dan ke kapsulku sendiri. Hotel yang di Bandung tak punya itu. Kunci lokernya masih manual dan kamarku hanya tertutup roller blind. Tapi karena itu pertama kalinya aku di hotel kapsul, aku merasa senang saja. Meski sebenarnya aku ragu itu termasuk kapsul atau bukan. Ya sekali lagi, litu jauh lebih baik ketimbang hotel yang di Singapore itu.



Aku tak terlalu suka menginap di hotel mewah. Kerapian dan keagungannya membuatku tak nyaman. Rasanya seperti kamu bahagia tapi bisa saja tiba-tiba bom atom menghancurkan hotel tempatmu menginap. Aku selalu merasa kebahagiaan yang berlebihan akan menimbulkan petaka. Hotel mahal punya kemampuan untuk itu. 

Aku tak pernah menginap di hotel biasa sendirian. Selalu saja ada kawan. Kalau sendiri rasanya sunyi sekali, meski ruangannya tak lebih besar dari 6 x 6 meter tapi tetap saja rasanya sunyi. Mungkin itulah mengapa aku lebih menyukai hotel kapsul. Fokusku lebih tertata.

Kamu tahu apa lagi yang lebih kusukai dari hotel kapsul tempatku menginap beberapa waktu lalu itu? lokasinya ada di titik strategis dan harganya sangat murah.  Lokasinya dekat dengan stasiun Sudirman, titik sentral dari beberapa stasiun. Turun dari kereta aku tinggal jalan kaki. Harganya tak lebih dari 200 ribu rupiah. Nominalnya membuatku nyaman dan tak perlu merasa bersalah karena merasa berfoya-foya.

Aku menaruh barang-barang di loker dan mengambil beberapa yang kurasa perlu. Ukuran loker cukup besar untuk tas ransel yang kubawa. Di dalam loker sudah ada handuk, pasta gigi dan sikat gigi serta sandal hotel tanpa nama. 



Tetangga hotelku lagi-lagi seorang bule perempuan. Kami bertemu ketika aku masuk ke area kapsul dalam kondisi lelah dan kepanasan. Dia sedang menata sepatunya dan hendak melangkah keluar dan sempat menyapaku dengan senyum. Andaikan saat itu aku tidak lelah mungkin aku akan mengajaknya bicara.

Aku menginap di sana karena mau menonton konser Dewa di GBK. Kabarnya konser berlangsung selama 4 jam artinya baru akan selesai menjelang tengah malam. Terlalu malam untuk pulang ke Depok sendirian karenanya aku memutuskan untuk menginap.

Kupikir area yang aku tempati khusus perempuan jadi aku merasa nyaman berkeliaran menggunakan tanktop dengan rambut terbuka tapi ternyata ada laki-laki masuk ke area itu. Aku tak berpapasan langsung tapi aku mendengar suaranya. Ternyata itu petugas hotel yang mungkin sedang berberes. Aku mulai tak nyaman memakai tanktop di luar kamarku.

Esok paginya ketika check out aku tanya pihak hotel apakah memang petugas di area kapsul perempuan itu laki-laki? Mengapa mereka menempatkan petugas laki-laki? Mereka bilang itu hanya waktu-waktu tertentu saja tapi kurasa mereka mendengar perkataanku dengan baik. Syukur-syukur mulai mempertimbangkan pesan yang kusampaikan. Aku merasa tak nyaman ada petugas laki-laki di sana.

Mbak Ratri yang juga mau menonton konser Dewa menghubungiku. Kami berbincang banyak soal konser. Aku bercerita kalau aku menginap di hotel kapsul di daerah Sudirman. Ia pun akhirnya memutuskan untuk menginap di hotel yang sama denganku bersama seorang kawan. Kami berangkat ke arena bersama meski akhirnya berpisah karena beda gate.

Mereka memilih kamar model box yang memang didesain khusus untuk 2 orang. Aku sempat menengok dan melihat model kamarnya ketika kami bertemu. Kamar dengan model box itu jauh lebih canggih karena harus dibuka dengan aplikasi yang harus diinstal dulu di HP. Syukurlah aku tak perlu seribet itu! Kupikir bisa saja aku dan suami menginap di box itu suatu hari nanti. 

model box untuk 2 orang

Aku meninggalkan hotel menuju ke GBK sekitar pukul 4 sore dan kembali ke hotel sekitar pukul setengah 11 malam. Meski aku dan Mbak Ratri berbeda gate tapi kami tanpa sengaja bertemu kembali di stasiun Dukuh Atas. Kami semua lapar dan memutuskan membeli bebek goreng yang lokasinya ada di jalan masuk ke arah hotel. 

Mbak Ratri membayar semuanya. Aku sudah melarangnya, kubilang itu hari pertama kami bertemu jadi tak sebaiknya aku menerima kebaikannya. Tapi kata dia tak apa-apa. Ya sudahlah, rejeki, mau bagaimana lagi!

Aku pamit ke Mbak Ratri untuk langsung naik ke area kamarku. Kami pun berpisah. Kakiku lelah dan bajuku pun basah kuyup. Setelah bebek di hadapanku ludes aku tidur dengan lelap. Ya, aku tak pernah bermasalah dengan tempat baru kecuali soal BAB. Aku tak nyaman BAB di tempat baru dan 2 hari itu aku tak BAB. 

kamar mandi 

Pagi sekali aku bangun untuk bertemu Viki. Ia menginap di hotel sebelah Sarinah -yang belakangan kutahu ternyata itu hotel dengan tangga melingkar yang dipakai di poster film Sore. 

Ia tengah makan pagi dengan suaminya ketika aku datang. Sisa makanan masih terlihat di mulutnya. Ia berbicara sembari mengunyah, berusaha menghabiskan makanannya. Kuharap aku tak mengganggu (sepertinya memang mengganggu) dan aku tak akan lama. Setelah memintanya memfotoku aku cabut untuk menemukan sarapanku sendiri.

Di sekitaran Sarinah banyak pedagang makanan. Aku memilih makan sate padang. Rasanya dan harganya standar saja. Aku kembali berjalan kembali ke stasiun untuk balik ke hotel. Kupikir aku akan menghabiskan waktu untuk tidur sebentar sebelum check out tapi rupanya aku tak bisa tidur. Aku memutuskan mengambil beberapa footage, membaca buku sembari menunggu waktu check out

area pantry di lantai 1

Ya memang aku tak sebaiknya menunggu sampai waktu habis tapi kenapa aku harus buru-buru? Bukankah di luar panas? Akhirnya aku check out jam 11 siang. Aku mengambil kembali uang jaminanku. 

Hm yah, aku senang dengan hotel kapsul. Ruangannya yang sempit membuatku fokus pada beberapa hal yang penting dalam hidup. Tak banyak benda yang harus kupikirkan di dalam sana. Aku jadi merasa sebenarnya hidup itu sederhana saja!

oh ya, namanya PassGo Thamrin.

lobby di PassGo Thamrin


Hai, saya Ire. Bagi saya hidup adalah lifelong learning, pembelajaran yang tiada akhir. Melalui blog ini mari sama-sama belajar sembari sesekali bercerita mengenai kisah perjalanan hidup yang sudah saya lewati :)

Comments