Skip to main content

Tentang Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring


Orang yang tengah berduka tidak suka digurui. Terkadang mereka cuma butuh teman duka yang lain untuk saling berbagai kedukaan. Bisa jadi kedukaan mereka berbeda-beda, tapi benar kata dr. Andreas kita tidak seharusnya membandingkan duka sendiri dengan orang lain. Duka itu unik dan valid terhadap mereka yang merasakannya. 

Dalam buku ini dr. Andreas mencoba menceritakan kedukaan karena kehilangan Hiro, anaknya yang masih berusia 1 tahun 6 bulan. Ia menceritakan penyakit langka yang Hiro derita, bagaimana saat-saat terakhirnya bersama Hiro dan bagaimana ia melalui tahap demi tahap duka yang ia rasakan. 

Ia akan mengajak kita bersama-sama melewati masa-masa duka dan sesekali memvalidasinya melalui keilmuan yang ia miliki. Tidak, ia tidak sedang membuka praktik melalui buku ini. Ia justru sedang berusaha melalui sedih dan mengajak para pembaca -yang juga sedang bersedih- untuk melalui masa dukanya dengan baik.

Ya, beberapa duka tidak berakhir baik, ada yang justru kebablasan, tidak tepat sasaran atau malah merugikan orang lain. Tidak semua duka mudah untuk dilalui dan tidak semua orang mudah melalui duka dengan baik. Ini kata saya ya, kalau versi dr. Andreas, proses melalui duka itu sama halnya dengan kegiatan mencuci piring.

Apa maksudnya? “Cuci piring itu seperti berduka. Tak ada orang yang suka melakukannya tapi pada akhirnya seseorang harus melakukannya.” Mungkin ia menemukan formula ini ketika ia mencuci piring dalam kondisi berduka. Ada beberapa tahap dalam mencuci piring dan jika kita mau merenungkan tahap-tahap itu sama halnya dengan tahap berduka yang harus kita lalui.

Mungkin dr. Andreas baru saja kenal dengan kegiatan mencuci piring, maksud saya ia tidak benar-benar  melakukannya ketika muda dulu. Tapi entahlah saya tidak mau jadi sok tau soal itu. Tapi saya sudah melakukannya sedari duduk di bangku Sekolah Dasar. Mungkin sedari kelas satu atau malah dari sebelumnya.

Saya seakrab itu dengan kegiatan mencuci piring. Mungkin kegiatan rumah tangga pertama yang berhasil saya lakukan adalah mencuci piring diusia yang masih sangat-sangat belia. Jadi memang awalnya seperti sebuah keterpaksaan tapi lama-lama saya bisa menemukan asiknya mencuci piring.

Keasikan yang tidak tulus, tapi terpaksa timbul hanya untuk menghibur kegiataan yang sulit saya hindari kala itu. Tapi lama-lama saya jadi terbiasa mencuci piring. Di remaja RT, di remaja masjid, di organisasi pramuka saya selalu kebagian mencuci piring. Mungkin karena refleks karena sudah melakukannya bertahun-tahun, tubuh saya otomatis mengambil piring kotor lalu mencucinya.

Bahkan setelah menikah pun setiap ada pesta di keluarga besar, keluarga suami saya selalu mencuci piring. Pernah suatu ketika saya makan siang dengan bos-bos di perusahaan suami. Setelah selesai makan saya refleks mau membawa piring-piring kotor ke belakang. Tangan suami refleks menahan saya sebelum berdiri, “jangan dicuci,” ia menyuruh saya untuk tetap di tempat dan mengisyaratkan bahwa sudah ada orang yang akan mencucinya.

Dulu bahkan saya berpikir bahwa saya terlahir untuk mencuci piring. Setiap kali melihat orang lain mencuci piring bekas saya makan akan timbul rasa bersalah dan sungkan. Setiap ada pesta makan saya otomatis akan mencuci piring. Seperti sebuah mesin otomatis. Tapi sudah cukup cerita tentang saya-nya. Mari kita bicara lagi soal dr. Andreas yang mencuci piring.

Jadi kegiatan mencuci piring “yang tidak disukai orang” yang dimaksud dr. Andreas adalah salah satu hal yang tak saya mengerti. Sebetulnya ketika pertama kali saya membaca judulnya tanpa membaca isinya saya pikir saya paham apa yang dr. Andreas maksud. 

Dalam pikiran saya, maksudnya adalah ada suatu kesenangan ketika kita mencuci piring. Seperti kemajuan dari sesuatu yang awalnya kotor menjadi bersih. Dalam proses itu saya menemukan ketenangan. Bisa dibilang saya tidak memakai otak untuk melakukannya, tangan saya refleks tau apa-apa saja yang harus dilakukan tanpa dipandu.

Saya sering melalui aneka rasa dengan mencuci piring tak hanya duka. Terkadang ketika sepi dan sendiri saya akan mencuci piring dan akan lebih syahdu lagi kalau dilakukan di malam hari. Ketika saya banyak masalah yang rumit saya juga akan mencuci piring. Satu hal itu entah mengapa membuat saya jauh lebih tenang. Mungkin seperti sebuah isyarat bahwa segala hal rumit bisa dilerai, segala yang kotor akan bisa bersih kembali.

Nah, jika dr. Andreas memulainya dengan kalimat tidak ada yang suka melakukannya tapi harus dilakukan, saya anggap itu pandangan pribadi. Bagi sebagian perempuan (termasuk saya) mencuci piring itu menyenangkan. Terlebih jika dibandingkan dengan menyeterika baju. Saya yakin tak ada perempuan yang suka menyeterika baju, ya kecuali Nikita Willy yang bilang itu kegiatan yang cukup menyenangkan dan menenangkan. 

Tapi tak masalah, tidak penting mendebatkan apakah mencuci piring menjadi kegiatan yang disukai atau tidak disukai. Yang penting di sini bahwa ternyata kegiatan mencuci piring dan tahap-tahapnya bisa menjadi contoh yang baik untuk menuntaskan kedukaan.

Bukan cuma soal cuci piring kok. Anggaplah bagian itu hanya ada dalam satu bab sisanya tetaplah soal bagaimana sebaiknya kita melalui sebuah duka. Ketika membacanya rasanya seperti selama ini saya belum melalui duka dengan baik. 

Tak hanya judul utama, beberapa bab dalam buku ini juga punya judul yang cukup menggelitik contohnya, “Tutorial Menerima Kematian Seorang Anak.” Bagi dr. Andreas, menerima adalah hal yang paling mudah sekaligus paling sulit di dunia ini. 

Menjadi mudah ketika kita menyadari bahwa sesuatu itu ada dan akan terjadi seperti sebuah realitas yang tidak bisa diubah. Contohnya adalah adanya gravitasi bumi. Diterima atau tidak memang sudah seperti itu. Tunggu sebentar. Rupanya saya terlalu lama mengabaikan tulisan ini di tengah jalan.

Tanpa saya sadari paket langganan buku non fiksi saya sudah habis, saya tidak bisa lagi membuka halaman demi halaman dari buku ini. Rasanya percuma saya menandai setiap halaman. Tau begitu lebih baik saya tulis saja kalimat-kalimat yang saya rasa penting di agenda. 

Oke ini jadi ke mana-mana, tapi awalnya saya merasa beruntung bisa berlangganan paket dan membaca buku sepuasnya tapi ternyata saya tak cukup siap dengan produk digital. Ingatan saya mulai melemah dan saya pun tak bisa dipaksa banyak membaca dengan batasan waktu tertentu.

Disinilah saya sadar mengapa saya perlu membeli buku fisik. Saya memang harus memilikinya, menaruhnya di rak kesayangan lalu berlama-lama dengannya. Ya Sudahlah, anggap saja ini sebuah pelajaran berharga. Jeleknya saya jadi tidak bisa mereview secara detail.

Oke kembali soal buku ini, di salah satu bab dibahas mengenai cara mengelola emosi disertai dengan teknik-teknik relaksasi dan mindfulness. Pembahasan soal duka di sini juga akan sampai pada tahap penerimaan, merawat diri serta kehidupan pasca berduka.

Sebenarnya buku ini bisa dibilang sebuah keuntungan terutama bagi pembaca yang juga sedang berduka. Ini seperti mendapat teman yang sama-sama sedang berduka tapi si teman itu punya kapasitas untuk mendengarkan dan memberikan saran terbaik yang bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Boleh juga dibilang kita mendapat kelas vip dengan seorang psikiater ternama.

Saya menyarankan buku ini ke beberapa kawan yang juga tengah berduka. Salah satu kawan bilang ia menangis hanya dari membaca beberapa lembar di awal. Saya tidak bisa menjamin buku ini cocok dengan setiap duka, tapi apabila cocok, diam-diam saya juga bersyukur. Setidaknya beberapa duka bisa dilalui dengan baik berkat buku ini.

Hai, saya Ire. Bagi saya hidup adalah lifelong learning, pembelajaran yang tiada akhir. Melalui blog ini mari sama-sama belajar sembari sesekali bercerita mengenai kisah perjalanan hidup yang sudah saya lewati :)

Comments