![]() |
Sepertinya sudah lama saya tidak menginjakkan kaki ke Pasar Santa. Terakhir ke sana mungkin sebelum pandemi. Kala itu sore hari dan malamnya ketika pulang terjadi gempa kecil. Saya tidak ingat sumber titiknya, tapi sepertinya di dekat pantai di daerah Jawa Barat.
Tapi gempa itu tidak penting dalam cerita ini. Yang terpenting adalah akhirnya saya bisa kembali ke Pasar Santa setelah sekian lama. Tujuan saya ke Pasar Santa belum juga berubah : berburu buku ke Post Santa. Sebuah toko buku indie yang sudah berdiri sebelum saya pindah ke Ibu Kota.
Saya ingat dulu sebelum menikah dengar kabar soal keberadaan Post Santa melalui instagram. Mungkin ini sedikit aneh tapi ketika menikah dan pindah ke Jakarta saya membawa serta beberapa hal.
Pertama ingin punya rumah di Bogor karena rumah Ayu Utami ada di Bogor (absurd sih ini), kedua ingin kerja di Gagas Media yang lokasinya sudah saya tahu jauh sebelum menginjakkan kaki ke Jakarta dan terakhir mengunjungi Post Santa di Pasar Santa.
Mengingat itu semua membuat saya jadi sadar akan satu hal, rupanya hidup saya dari dulu tidak jauh-jauh dari buku. Saya hanya memikirkan soal buku-buku serta menaruh perhatian dan harapan pada buku buku.
Bahkan hal-hal yang saya pikirkan ketika merantau hanyalah soal buku. Secinta itu saya sama buku. Bahkan dulu tagline yang sering saya pakai adalah “orang yang sudah dijamin kebahagiaannya melalui buku-buku.”
Mungkin terdengar konyol sekarang, tapi saya benar-benar memakai itu untuk beberapa waktu (cukup lama). Aku rela dipenjara asal bersama buku, ya, kalau versi Mohammad Hatta seperti itu.
Saya tidak ingat buku yang pertama kali saya beli di Post Santa tapi dari semua yang saya beli di antaranya ada Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi, Na Willa, Rumah Kopi Singa Tertawa, Cerita-Cerita Jakarta (baru beli si ini), 24 Jam Bersama Gaspar, haa maap sisanya tidak ingat.
![]() |
penataan di Post Santa |
Saya suka dengan aura toko ini, ukurannya yang kecil, warna kuningnya, penataannya, buku-buku yang dijualnya dan lokasinya yang sulit dicari serta jauh dari jalan utama. Terlebih usianya lebih tua setahun dibanding usia pernikahan saya.
Memang tak ada kaitannya, tapi untuk ukuran toko buku indie mereka cukup tangguh dan langgeng. Kau tahu, tidak mudah menjalankan suatu idealisme. Bagi saya Post Santa adalah salah satu bentuk idealisme itu.
Saya cukup bahagia mereka mulai banyak memproduksi buku-buku sendiri. Yang terbaru ada Museum Teman Baik. Sayang saya sedang puasa belanja buku. Ia benar, seorang Ire Rosana yang tidak pernah sekalipun keluar dari toko buku dengan tangan kosong ini mengakui bahwa ia sedang puasa beli buku.
Ini bukan perkara punya uang dan tidak punya, ini hanya soal banyaknya buku-buku baru yang terbengkalai di rak rumah. Buku-buku itu terlihat menyedihkan, beberapa bahkan sudah berjamur sebelum saya sentuh.
Jumlahnya makin hari makin banyak. Ini karena saya kerap mendapat kupon buku gratis. Ya, saya tidak membelinya tapi buku-buku itu datang dengan sendirinya.
![]() |
buku-buku di Post Santa |
Karena lagi puasa, saya hanya datang untuk bertegur sapa dengan Post Santa. Hari sabtu tempat mungil itu terlihat lumayan ramai pengunjung. Saya bisa mencium aroma penataan ala anak-anak muda di sana.
Beberapa buku berbahasa Inggris juga berhasil saya temukan. Salah satunya Vegetarian versi inggris. Tentu saya tidak membacanya, saya sudah tau isinya atau dengan bahasa lain saya sedang malas membaca (apalagi berbahasa Inggris).
Jadi saya hanya mengambil beberapa gambar, berfoto di depan toko, di dalam toko dan yah.. tidak sampai 15 menit saya berada di sana. Selebihnya saya justru tertarik untuk berkeliling di Pasar Santa.
Sepertinya wajah Pasar Santa lantai atas berubah. Dulu banyak kios masih kosong dan tutup, kini kios-kios itu semua penuh dengan aktivitas yang kesemuanya dikelola kawula muda. Ada toko vinyl, aksesoris, pernak pernik hingga area makan yang cukup variatif dan luas. Satu-satunya yang tidak berubah adalah hawanya sekitarnya yang lumayan panas. Beberapa kios memasang AC untuk menyelesaikan persoalan panas ini.
![]() |
salah satu penjual pernak pernik di Pasar Santa |
Akhirnya saya berlama-lama di salah satu toko vinyl, melihat koleksi mereka satu per satu dan mendengarkan beberapa lagu diputar. Suer, saat itu saya kepikiran untuk beli turntable. Suara yang dihasilkan dari turntable berhasil menghipnotis saya.
![]() |
Salah satu toko vinyl di Pasar Santa |
Ada beberapa turntable modern di marketplace dengan harga kisaran 2 jutaan ke atas. Ya tapi masih ragu-ragu juga, artinya saya harus membeli vinyl-vinyl yang harganya bisa untuk membeli beberapa buku itu. Sanggupkah? ataukah ini hanya ego semata? Saya simpan dulu sementara niatan itu dan kembali membicarakannya ketika nanti, suatu saat.
Ya, segitu dulu ceritanya. Setelah dipikir-pikir selama ini saya belum pernah bercerita mengenai Pasar Santa maupun Post Santa, mungkin ini bisa menjadi cerita nostalgia yang menarik ketika dibaca kelak ketika saya menua.
pasar santa semakin kalcer sejak 2024 dan tenant makanannya semakin variatif :D bagus!
ReplyDelete