Skip to main content

Sentilan Kumpulan Puisi Ublik Karya Ono Sembunglango


Puisi bukan hanya soal keindahan tata bahasa dan olah kata. Puisi mempunyai pencipta yang olehnya terdapat kedalaman rasa. Ini bukan soal data, tapi karya yang dilahirkan dari perpaduan antara kepekaan, perasaan mendalam dan kemampuan untuk menafsirkannya. 

Setiap sastrawan melahirkan keresahan yang menyelubungi pikiran dan tubuhnya, sebagaimana Ono Sembunglango ketika melahirkan “Ublik” -yang merupakan kumpulan buku puisi pertamanya. 

Meski bukan lahir dari daun lontar dan kertas Sinar Dunia, Ublik yang dikumpulkan melalui catatan media digital ini tetap menjadi sebuah catatan keresahan yang mewakili suatu masa.

Pak Ono, mungkin begitu saja saya memanggilnya. Seorang yang saya temui dalam event blogger 2 Oktober 2024 lalu. Saya -yang bukan siapa-siapa dan baru dalam dunia blogger ini- tidak begitu banyak mengenal orang, dan saya tidak akan mengenal beliau andai kata teman sebelah saya tak menyebut kata Sutardji Calsoum Bahcri, sang maestro puisi mbeling.

Ia bilang Sutardji adalah tetangganya, di depan saya, Pak Ono dan teman-teman yang lain. Begitulah awal mula pembicaraan soal puisi dimulai. Sutardji, Aan mansyur, Sitok Srengenge, puisi mbeling, puisi kontemporer hingga berakhir ke penandatanganan buku Ublik ini.

“Untuk Kak Ire, menanti review pedas!” tulisnya pada halaman awal buku. Batin saya, untuk apa saya mereview pedas untuk sebuah keindahan karya berpikir dan kepekaan terhadap sekitar? Alih-alih review pedas saya justru lebih ingin memberikan apresiasi paling tinggi untuk puisi-puisi yang ditulisnya dan tentu ucapan selamat untuk cetakan buku pertamanya.

Ada orang peka tapi tak punya kemampuan olah kata, ada orang mahir berbahasa tapi tidak peka. Ada yang punya keduanya tapi menyimpannya dalam-dalam sementara Pak Ono punya keduanya dan berani untuk menyuarakannya. Membuat rangkaian kata yang beradu dengan aroma kertas yang semakin ditekan jaman.

Sebagaimana judul buku Ublik yang berarti lampu, saya pikir ada tujuan baik yang disimpan dalam kumpulan karya ini. Sebuah titik terang, sebuah jalan penuntun dari kegelapan. Sebagaimana ia menyembunyikan harapan dan keresahan dalam bati-bait puisinya.

Ia menyentuh sisi marjinal, tentang sudut kota,  tentang seorang kuli di jalanan, tentang sungai yang terlanjur sulit untuk diselamatkan, tentang kemerdekaan yang perlu dipertanyakan hingga musim Corona yang menuai ketidakberdayaan.

Merdeka

Hanya sebuah keramaian, kegembiraan berlomba bagi anak dan orang dewasa
Merdeka hanya sebuah kibaran bendera plasltik setelah itu usai
Merdeka saat pagar rumah hilang dicuri pecandu narkoba
Merdeka saat tagihan BPJS membuatmu tak bisa menikmati periksa kesehatan
Merdeka di saat sungai-sungai berwarna coklat menuju abu-abu kehitaman
……..
Berikanlah tanda baca menurut hatimu pada kata Merdeka

Sebuah potongan puisi berjudul, “Merdeka”. Kalimat terakhir dalam puisi tersebut membuat saya termenung, tanda baca apa yang sebaiknya saya sematkan setelah kata merdeka. Titik kah? Koma kah? Tanya kah? Atau tanda seru? Rupanya selama ini saya lebih sering memaksakan tanda seru di belakangnya.

Memilih abai dan keras kepala seperti halnya saat kaum muda memaksa Soekarno Hatta untuk segera mendeklarasikan kemerdekaan. Seolah merdeka itu keharusan dan harus dipaksa. Padahal, realita sudah berubah. Makna kemerdekaan sudah bergeser. Yang terjadi saat ini orang-orang bereuforia dengan kemerdekaan yang masih fana. 

Dalam Ublik, beberapa puisi bercerita tentang puisi. 

Puisi Telah Mati #4

Ia ditikam oleh penyairnya sendiri
Di jalanjalan kota
Di jalanjalan sunyi pedesaan
Dan riuh gemuruh rumah ibadah
Puisi mati
Dibunuh beramairamai tanpa henti
Siang terangterang sambil dicaci
………………..

Saya menangkapnya ini sebagai sebuah kegetiran tentang nasib puisi di jaman ini. Saat di mana  hiburan digital merajalela dan perhatian manusia mengarah ke segala arah. Ada puisi yang diam-diam mati perlahan-lahan. Diabaikan lalu ditinggalkan.

Dunia sedang terburu-buru, mereka hanya mau berkawan dengan kecepatan, sementara puisi mengajak kita untuk sedikit melambat. Mengembalikan pace hidup dengan muatan keindahan dan kepekaan. Padahal saya pikir, saat sesuatu bergerak dengan cepat, keindahan pun akan terlewat.

Keresahan Pak Ono melintasi batas negara hingga ke Palestina. Sebuah negeri yang disayangi kami para muslim, sebuah negeri yang mendapat janji syurga dari Tuhan kami.

Buku Ublik ini tak akan lengkap tanpa Palestina. Seolah ini menjadi sebuah penebusan dosa sosial karena kita hanya mampu mengirimkan banyak doa.

Aqsa
Kami malu
Sangat malu
Dengan ketetapan takdirmu
Berdiri bersama Baitul Maqdis

Dalam catatan untuk Palestina, Pak Ono menyimpan rasa kecewa dan kemarahan yang mendalam terhadap apa yang terjadi di sana. Ia menebar banyak doa dan harapan dalam puisi berjudul “Bunga-bunga Aqsa”. Sebuah cerita indah yang tak mampu dilukis oleh dunia nyata.

Pak Ono, buku ini tidak mampu saya review pedas tapi malah justru mereview saya secara pedas. Dalam bait-baitnya membuat saya bertanya, merenung dan mengevaluasi diri. Sudahkah saya peka terhadap sekitar, sudahkah saya mengirim doa untuk Palestina atau sudahkah saya berkontribusi untuk literasi di negeri ini?

Ublik sudah menyentil saya dan tentunya kita semua sebagai manusia untuk banyak-banyak merenung dan melihat dunia dengan lebih peka. 

Selamat untuk buku puisi pertamanya, semoga semakin banyak karya lahir setelahnya hingga tak ada lagi puisi dengan judul, "Puisi Telah Mati."

Hai, saya Ire. Bagi saya hidup adalah lifelong learning, pembelajaran yang tiada akhir. Melalui blog ini mari sama-sama belajar sembari sesekali bercerita mengenai kisah perjalanan hidup yang sudah saya lewati :)

Comments

  1. Whooaaa baru tadi siang pegang bukunya tp lom review euuyy... judulnya aja unik isinya pasti spesial ya kak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mb, jadi semangat nulis kalau ada teman yang sudah ngeluarin buku :D

      Delete
  2. Wah mas ono punya buku puisi. Jadi penasaran mau baca isinya apa. Kemarin sempat ada dalam 1 buku sama beliau yang dompet dhuafa. Mas Ono nulis puisi, saya nulis surat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah mantab sekali teman2 di BCC ini, semangat menulisnya patut diacungi jempol, membuat saya jadi ingin menulis juga nih Ka...

      Delete
  3. cakep banget ini kumpulan puisi ublik karya ono, ah aku jadi pengen bikin puisi lagi deh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ayo Kak, ditunggu karya2nya nih saya nggak sabar pengen baca :D

      Delete
  4. Bukan hal yang mudah untuk membuat puisi, apalagi bisa jadi sebuah buku. Keren ini buku Ubliknya Pak Ono. Semoga laris di pasaran dan banyak memberikan manfaat untuk pembacanya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener banget Fen, 2 hal yang dibutuhkan penulis soal bukunya, menginsipirasi dan laku keras di pasaran, semoga Pak Ono dapat ke duanya ya :)

      Delete
  5. Saya sudah lama gak baca buku soal puisi nih. Bagus juga nih rekomendasi kumpulan puisi punyanya pak Ono ini buat bacaanku yang berikutnya.

    ReplyDelete
  6. Selalu salut dengan para penulis puisi yang berhasil membawa pembaca terhanyut lewat untaian kata. Lebih salut lagi, ternyata rangkaian kata-kata nan indah ini juga sekaligus bisa berfungsi sebagai pengingat buat pembaca yaa, seperti contohnya puisi tentang Palestina tadi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Kak, bukan hanya soal keindahan kata, banyak pesan serta makna yang terkandung dalam puisi. Banyak juga puisi yang tujuannya mengkritisi kondisi sosial masyarakat, ada juga kritik terhadap pemerintahan dan sejenisnya :)

      Delete
  7. Ublik ini kalau di bahasa Jawa artinya "macam-macam" kah?
    Indah sekali potongan puisi Pak Ono.
    Tak perlu kata puitis yang sulit untuk menggambarkan sebuah 'rasa'. Dari mulai kesedihan, keresahan, kegetiran dan semua tersampaikan dengan baik ke hati pembaca.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ublik seperti gambar cover depan bukunya Kak, itu lampu, mungkin maksudnya penerangan, buku ini diharapkan bisa menjadi penerang dari semua problematika yang beliau angkat :)

      Delete
  8. Sudah lama sekali aku tuh tak membuat puisi, terakhir kali pas masih zaman kuliah. Dulu, aku sangat senang berpuisi rupanya kesenangan itu sirna dan kemampuan merangkai kata pun kian berkurang.

    Salut kepada pak Ono, membuat buku kumpulan puisi dengan judul yang cukup sederhana namun sebetulnya sangat mendalam. Keresahannya bisa di terima dan di pahami, semoga saja buku beliau bisa di cetak berkali-kali sehingga makin banyak anak muda yang membaca puisi. Kepekaan dan kemampuan olah kata sangatlah penting memang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama La, aku dulu juga suka nulis puisi. Dulu kalau naksir orang tiba-tiba berubah jadi pujangga gitu dan bisa bikin puisi sendiri, wkwkwk. Mungkin karna alasan membuat puisiku masih cethek jadi sekarang saat sudah menua kemampuan membuatnya jadi berkurang. Memang alasan membuat puisi jangan hanya sebatas jatuh cinta, kritik sosial misal mau berapapun usia kita pasti masih berjalan hingga sekarang. Karena kondisi di negeri ini tidak pernah baik-baik saja, selalu saja ada yang bisa dikritik :)

      Delete

Post a Comment