Jakarta punya banyak cerita. Dari sela gedung-gedung tinggi menjulang hingga gang-gang sempit yang hanya muat untuk dilewati satu kendaraan. Dari halaman rumah-rumah di kawasan elit hingga emperan toko-toko lawas bekas tragedi 98. Dari banjir yang membenamkan ruas jalan hingga asap knalpot yang saling berhimpitan.
Terlalu banyak cerita di Jakarta yang tak bisa ditampung dalam sebuah buku. Butuh berjilid-jilid, beribu-ribu lembar. Tapi buku ini mencoba menjadi jendela untuk kamu bisa mengintip apa saja yang mungkin terjadi di tubuh Jakarta dari sisi marjinal.
Nama-nama penulis besar ada di baliknya sebut saja Sabda Armandio yang salah satu bukunya berjudul 24 Jam Bersama Gaspar telah difilmkan beberapa waktu lalu, Yusi Avianto Pareanom alias om Pencuri Daging Sapi, Afrizal Malna yang pernah mendapat penghargaan Man of The Year tahun 2009 dari Majalah TEMPO, Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie -yang untuk menuliskannya pun saya harus berhati-hati karena tricky, Ben Sohib yang karyanya saya yakin telah kalian toton karena sudah diadaptasi menjadi sebuah filim apalagi kalau bukan “Tiga Hati, Dua Dunia dan Satu Cinta”, dan…haruskah saya sebutkan sisanya?
Cyntha Hariadi, Dewi Kharisma Michellia, Hanna Fransisca, Ratri Ninditya dan Utiuts yang prestasinya tidak kalah banyak. Yah, setidaknya setelah saya sebutkan nama-nama itu kalian jadi tahu mengapa tidak ada nama saya di sana.
Beberapa cerita di buku ini dikaitkan erat dengan suatu tempat seperti Istana Boneka, Kramat Tunggak, serta Taman Ismail Marzuki. Ziggy (begitu panggilan singkat saya) melahirkan tokoh-tokoh manula yang bersama-sama menikmati hari terakhir wahana dunia fantasi sebelum berhenti beroperasi.
Dewi Kharisma Michellia lebih memilih cerita yang oleh masyarakat dianggap tabu. Tentang mantan primadona Kramat Tunggak yang harus kembali mengambil jalur kelam untuk melanjutkan hidup.
Sebuah cerita lain ingin mengabadikan kepedihan dari peristiwa 98 melalui cerita ketimpangan kelas di antara etnik Tionghoa. Sebuah sisi yang jarang sekali di tonjolkan dalam cerita-cerita di balik peristiwa 98.
Sisi birokrasi yang panjang dan berbelit-beli pun tak ketinggalan di sentil melalui cerita berjudul, “Aroma Terasi” yang dibuat oleh Hanna Fransisca.
Tak ada Jakarta tanpa kata banjir, Utiuts mencoba mengabadikannya melalui cerita berjudul, “Buyan”. Aroma sentimen tercium di dalamnya, bahwa betapapun Jakarta tumbuh melejit terkait teknologi sedemikian rupa tapi tetap tak bisa menyelamatkan diri dari masalah banjir.
Potret kesenjangan, luka batin tak berkesudahan, lingkungan, roman picisan, hingga transportasi mengendap-endap dalam setiap cerita. Setidaknya begitulah potret Jakarta di dalam 10 kepala penulisnya.
Sepertinya saya tidak bisa bercerita terlalu banyak atau memang sudah terlalu banyak saya bercerita tentang Jakarta di luar buku ini. Saya takut menutupi cerita-cerita di dalamnya dengan cerita pengalaman yang telah saya kumpulkan sendiri.
Tapi satu hal yang pasti, Jakarta selalu menarik untuk dikulik, entah dari pengalaman secara langsung maupun melalui isi kepala orang lain. Dari sekian banyak wajah kota di negeri ini, Jakarta menjadi salah satu yang wajib kamu ketahui.
Comments
Post a Comment