Skip to main content

Melambat Bersama Haruki Murakami dan Lelaki-Lelaki tanpa Perempuan


Haruki Murakami tak ingin hidup dengan pikiran-pikiran liarnya seorang sendiri. Dan seperti cerita-cerita yang selama ini beredar tentang dirinya, ia membiarkan dunia tahu tentang isi kepalanya sejak menonton pertandingan bisbol antara Yakult Swallows dan Hiroshima Carp. Ia pulang lalu menulis novel pertamanya dan mendapat penghargaan sastra Gunzou setahun setelahnya. (dan cerita ini akan terus saya ulang sejauh saya mereview novel-novelnya)

Tak bisa tidak, sebagai seorang yang bercita-cita menulis novel suatu hari nanti, cerita tentang betapa mudahnya jalan literasi Murakami tentu menimbulkan rasa iri yang berkepanjangan. Haruskah saya menonton bisbol? Ataukah menelusuri jalan pikirannya? Tapi mungkin cerita hidupnya terdengar mudah karena isi pikirannya yang terlanjut sulit.

Buku Lelaki-lelaki tanpa Perempuan ini adalah karya Murakami kesekian yang telah selesai saya baca. Ada garis merah di antara karya-karyanya. Ia memasukkan banyak bagian dari hidupnya, entah soal kebiasaan, kegemaran, seks hingga selera musik. 

Hampir selalu ada musik klasik, Jazz atau musik-musik lawas yang mungkin menemani bagian hidupnya. Ia punya selera musik yang bagus. Kali ini ia memasukkan beberapa nama musisi seperti Percy Faith, Francis Lai, 101 Strings, lP Coleman Hawkins dan sejenisnya.

Murakami juga selalu membubuhkan aroma seksual dalam karya-karyanya. Begitu pun dengan buku ini. Ia melihat seks sebagai kegiatan normal yang harus dilakukan manusia, bukan sesuatu yang tabu atau saru -betapapun atau dengan siapapun lawannya. Bisa jadi pasangan suami istri, atau sepasang sahabat seperti Watanabe dan Naoko dalam Norwegian Wood. Bisa juga hubungan dengan orang asing hingga perselingkuhan. Yah bisa dibilang cukup banyak cerita perselingkuhan menyelinap dalam karya-karyanya.

Buku ini berisi 7 kumpulan cerita tentang lelaki-lelaki yang hidup tanpa perempuan, tapi seperti tulisan di balik bukunya, lelaki-lelaki yang ia ceritakan justru hidup atau melekat erat dengan perempuan. 

Tak jelas makna “tanpa perempuan” yang ia maksud. Mungkin saja maksudnya seperti cerita pertama, tentang seorang lelaki bernama Kufuku yang ditinggal mati oleh istrinya. Lalu ia menemui pacar istrinya dan berkawan dengannya. Mungkinkah itu yang dimaksud tanpa perempuan?

Atau cerita kedua tentang seorang lelaki bernama Tanimura yang dipaksa oleh temannya yang bernama Kitaru untuk mecoba berpacaran dengan pacarnya. Yah, adegan ini cukup menjawab mengapa beberapa bulan lalu saya membaca berita tentang sepasang suami istri muda di Jepang yang membolehkan istrinya punya pacar dan membawanya ke rumah karena takut istrinya bosan dengan hubungan mereka. Cara berpikir orang Jepang memang sulit ditebak.

Ada juga kisah tentang seorang dokter Tokai, pria berusia 50 tahun yang belum menikah tapi punya kekasih -yang tak lain adalah- istri orang lain. Hidup Dokter Tokai tak jauh dari perempuan, ia menjalin hubungan dengan beberapa perempuan meski akhirnya mati mengenaskan karena patah hati hingga ke tulang-tulang. Alasannya kenapa, lebih baik kamu temukan sendiri dengan membaca bukunya.

Lelaki ke 4 Bernama Habara. Cerita kali ini tak kalah aneh. Tentang seorang pria yang dikirim ke kota kecil dan seorang pendamping -yang dia namai Syahrazad- yang membantu menyiapkan segala keperluan di kota itu.

Syahrazad mencarikan kebutuhannya dan tanpa tahu awalnya mereka lalu terbiasa berhubungan seks. Syahrazad akan bercerita tentang kisah ajaib setelah mereka bercinta dan selalu menggugah rasa penasaran Habara tentang kelanjutan kisahnya. 

Lalu pria kelima bernama Kino. Seorang pria yang menemukan istrinya tengah bercinta dengan sahabatnya di rumah mereka. Ia lalu pergi ke suatu kota, membuka sebuah bar kecil dengan sisa tabungannya dan mulai merasakan kejadian-kejadian aneh.

Saya kurang paham apakah buku ini mengajak kita untuk memahami kondisi beberapa pria dengan aneka macam hubungannya dengan perempuan ataukah justru menjadi tanda tanya yang perlu kita cari tahu jawabannya, di mana letak “tanpa perempuan” yang Murakami maksud.

Bisa juga ini sebuah wujud kehampaan lelaki, bahwa betapapun mereka hidup berdampingan, memiliki keterikatan bahkan bersenggama dengan perempuan tapi tidak serta merta mereka memiliki mereka sepenuhnya. Itu juga tidak serta merta menjadikan hidupnya penuh dan terisi. 

Dalam kisah ini sebagian lelaki ditinggal mati, sebagian lagi dikhianati, dan sisanya punya berhubungan tanpa ikatan dengan orang asing. Mungkin saja saya terlalu memikirkannya secara rumit, padahal mungkin ini hanya cerita sederhana, aneka rupa lelaki dari sudut pandang Murakami.

Tertarik untuk membacanya? Kuperingatkan, Murakami memiliki ritme bertutur lambat dan runut. Kamu tak hanya butuh waktu luang tapi juga kesabaran. Buku ini juga memaksamu sedikit melambat. Tapi seperti yang sering saya bilang, karakter tokoh dalam karya Murakami selalu detail dan kuat. Tapi kalau saya justru lebih tertarik dengan isi kepala Murakami melebihi karakter-karakter yang ia ciptakan. Mungkin saja isinya seperti lorong tanpa ujung. 

 Akhir kata, selamat melambatkan waktu! :)


Comments

Popular posts from this blog

Sentilan Kumpulan Puisi Ublik Karya Ono Sembunglango

Puisi bukan hanya soal keindahan tata bahasa dan olah kata. Puisi mempunyai pencipta yang olehnya terdapat kedalaman rasa. Ini bukan soal data, tapi karya yang dilahirkan dari perpaduan antara kepekaan, perasaan mendalam dan kemampuan untuk menafsirkannya.  Setiap sastrawan melahirkan keresahan yang menyelubungi pikiran dan tubuhnya, sebagaimana Ono Sembunglango ketika melahirkan “Ublik” -yang merupakan kumpulan buku puisi pertamanya.  Meski bukan lahir dari daun lontar dan kertas Sinar Dunia, Ublik yang dikumpulkan melalui catatan media digital ini tetap menjadi sebuah catatan keresahan yang mewakili suatu masa. Pak Ono, mungkin begitu saja saya memanggilnya. Seorang yang saya temui dalam event blogger 2 Oktober 2024 lalu. Saya -yang bukan siapa-siapa dan baru dalam dunia blogger ini- tidak begitu banyak mengenal orang, dan saya tidak akan mengenal beliau andai kata teman sebelah saya tak menyebut kata Sutardji Calsoum Bahcri, sang maestro puisi mbeling. Ia bilang Sutardji ...

Mengendus Buku Jurnalisme di Luar Algoritma

Ada yang berubah dari wajah jurnalisme kita. Masyarakat di era ini membutuhkan kecepatan, berita harus diramu secara cepat kalau tidak mau ketinggalan. Tak dipungkiri wartawan kalah adu cepat dengan warga yang berada di tempat.  Soal kode etik mungkin mereka tak paham tapi kecepatan tentu tak diragukan. Siapa peduli dengan kode etik di jaman ini? Publik lebih menikmati video kejadian yang diambil para amatir dengan dalih originalitas. Soal akurasi tentu media juara, tapi kecepatan bisa jadi sebaliknya.  Sebenarnya hal seperti ini sudah bisa terendus dari belasan tahun lalu, saat di mana kemampuan handphone semakin di upgrade dan internet semakin dekat dengan masyarakat. Jurnalisme warga kala itu disambut sukacita sebelum pada akhirnya membuat tatanan dunia digital semakin chaos . Roma perubahan ini tentunya terendus media sedari lama, namun beda hal soal tanggapan. Ada yang bergerak cepat dan berupaya menyesuaikan diri tapi ada juga yang perlu lebih dulu mengkaji. Di luar cep...

Merayakan Ulang Tahun dengan Glamping di Puncak Bogor

  Laki-laki memang sulit ditebak. Dari sekian banyak tawaran hadiah ulang tahun yang saya tawarkan, suami justru memilih camping. Masalahnya, kami berdua bagai langit dan bumi, kutub utara dan selatan. Berbeda dalam segala hal termasuk memilih tempat liburan. Suami cenderung memilih tempat-tempat tenang, tidak banyak orang, dingin dan bisa beristirahat seperti camping dan hiking sementara saya lebih suka ramainya pasar, konser musik, serta wisata-wisata kota. Tapi karena ini soal hari jadi suami maka saya harus banyak-banyak mengalah. Yah bolehlah camping asal jangan dulu hiking . Sebenarnya sudah lama juga saya ingin menemaninya hiking tapi memang kondisi belum cukup baik dan saya belum berdamai dengan udara dingin. Kipasan satu jam saja saya tidak kuat apalagi menahan dinginnya gunung?! Lalu kami pun melakukan deal-dealan dan sampailah ke kata glamping. Istilah glamping belakangan cukup populer, bukan? Camping tapi glamor. Kalau camping kita masih harus repot-repot membawa...