Lebih dari seperempat abad sudah aku
hidup di bumi dan dengan sedikit malu aku menjawab pertanyaanmu,
“Sudah
pernah ke stasiun sebelumnya?”
Aku menggeleng, “ini pertama kalinya aku
pergi ke stasiun.” Huft...
Memangnya aku harus pergi ke mana? Yang kutahu
dunia hanyalah tanah yang sedang kupinjak ini.
Selebihnya entah apa! Aku lebih sering berpetualang dengan pikiranku
sendiri.
Lebih dari yang kubayangkan, stasiun
ternyata sungguh indah. Orang-orang
berlalu-lalang, menunggu, mengantri, bercanda dan berfoto bersama. Yang kulihat,
stasiun langit begitu kokoh, tergurit dari arsitekturnya yang bernuansakan
jaman kolonial. Entah paduan eksotisme langka dengan modern, entah malam memang
sedang syahdu-syahdunya ataukah kebersamaan kita yang begitu sendu.
Berpisah...
Adakah kata lain yang lebih memilukan
daripada yang bermakna ‘perpisahan’? Di stasiun aku terserang virus dadakan. Basuhan kegelian dan keheranan, lucunya mata ini perlahan sembab. Stasiun tua
ini rupanya tahu aku si pendatang baru. Seperti sudah ahli, mengerjaiku dengan
perasaan sedih dengan merambatkannya, pelan. Waktu yang menyempit berpadu dengan suara
pengeras yang berteriak memanggil orang untuk merapat dan siap
diberangkatkan. Sinergis sekali mereka mengerjaiku, membuatku berdebar dengan
balutan pilu!
“Kenapa?” tanyamu lirih saat melihat
gelagatku semakin aneh.
Aku teringat seorang temanku, yang
tengah hamil besar. Kala itu ia tengah mengantarkan suaminya ke Bandara.
Rasanya ingin tertawa bercampur malu waktu aku membully-nya. Malu karena kepiluan ini ternyata tidaklah
seberapa. Malu karena ternyata aku pun bisa secengeng ini. Miris rasanya membayangkan
temanku menghadapi itu, sendiri...
“Mas jangan pergi,” ucapku lirih sembari
menyandarkan kepala ke bahumu. Apa aku
perlu memeluk dan menggenggam tanganmu erat-erat agar kau tak pergi? Dan pilu pun semakin menjadi-jadi! Stasiun ini sungguh ahli benar mengerjai
tamunya yang awam.
Kuperhatikan orang-orang sekitar, tak
ada yang serapuh aku. Apa wajah stasiun selalu begini? Atau aku yang awam
dengan perpisahan?
Aku menyesap setiap detik sisa waktu
kita, hingga pengeras suara itu mencuri perhatianmu dan menarikmu untuk
beranjak, lalu menjauhiku. Kita pun saling menjauh dan kembali menggenggam rindu.
Terimakasih sudah datang di Semarang.
Tawang, 25 Agt 2014.
Comments
Post a Comment