Ku lirik buku bersampul warna merah di antara deretan buku sastra.
‘Jangan main-main dengan kelaminmu’, karya Djenar Maisa Ayu.
Sepertinya sudah lama kulit tanganku tak bersinggungan dengan karya atas nama wanita itu.
Penasaran aku raih buku merah itu, ku buka halaman satu demi satu.
‘Menyusu Ayah’ aku tak asing dengan judul itu, ku baca acak beberapa kalimat untuk menyegarkan ingatanku.
‘Saya tidak ingin dinikmati lelaki. Saya ingin menikmati lelaki,seperti ketika menyusu penis Ayah waktu bayi.
’ Kututup lembar bagian itu, kuberalih ke lembar yang lain.
‘Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah dari laki-laki.
Karena, saya tidak mengisap puting payudara Ibu. Saya mengisap penis Ayah.
Dan saya tidak menyedot air susu Ibu. Saya menyedot air mani Ayah.Kini, saya adalah juga calon ibu dari
janin yang kelak akan berubah menjadi seorang anak yang kuat, dengan atau tanpa figur ayah.’
Ugh..saya ingat saya sudah pernah mengkhatamkan buku itu, tepatnya mungkin sekitar 7-8 tahun lalu.
Kututup buku bersampul merah di tanganku. Menarik nafas dalam.
Selama ini aku menghindari nama Djenar, aku merasa tak cukup liar untuk bisa menikmati alur cerita sensualnya.
Lebih tepatnya tidak kuasa menikmati. Aku yang dulu berbeda dengan aku yang kini.
Dulu aku anggap vulgar dalam sastra itu seni. Dan memang, karya sastra itu seni! Seksualitas itu seni.
Tapi kini aku banyak dibingkai oleh agama yg sifatnya mutlak, tak ada kompromi ataupun toleransi.
Segenap hati tunduk dan mengabdi. Aku tidak sedang membicarakan pembedaan tapi memang ada
pergeseran alur dalam hidupku. Dan aku suka ketika agama membingkaiku.
Aku tidak lagi berani bertingkah membuka-buka sastra wangi seperti milik Djenar.
Waktu SMA yang aku tahu dari guruku, Djenar salah satu penganut sastra mbeling milik Sutardji C B.
Seperti namanya, karya mereka bagiku ‘mbeling’, liar. Tapi itulah seni. Tapi benar, kini aku sungguh tak berani!
Sejenak aku terpaku, mengintrogasi diri sendiri, bertanya apa yang salah?
Apa bedanya? Kenapa hanya untuk melucuti sebuah buku aku harus berkonflik batin seperti ini?
Aku tiba-tiba merasa perlu menuduh umurku. Umur matang yang memang seharusnya tahu hal-hal seperti itu.
Bila dulu aku memihaknya sebagai bentuk seni sastra, kini aku harus melawan kematangan umurku,
aku takut tidak bisa membedakan mana sastra mana seksualitas. Haha mungkin orang boleh tertawa,
sebuah hal simple yang tak seharusnya aku perdebatkan. Tapi ini benar, di usiaku yang harusnya tahu hal-hal
seperti itu aku akan mengalami sebuah dilematis yang mengusik otakku, berlomba seolah ke dua makna tersebut
tengah berebut tempat di otakku. Dan aku ketakutan bila seks memenangkannya.
Lucu! Memang sungguh lucu! Kau boleh menertawakanku.
Lalu sekelibat percakapan melintas dalam ingatanku,
‘Aku merasa risih, setiap malam harus mendengar teriakan-teriakan itu!
mereka menyetel musik untuk membenamkannya, tapi tetap saja suara itu terdengar dari kamar sebelah!’ katanya.
‘Kenapa tak kau tinggal tidur saja?’ balasku.
‘Sudah seperti itu mana bisa aku tidur, suara-suara itu justru mengusikku agar tetap terjaga!
Mendengarnya malah membuatku trauma sendiri, seperti hal yang menjijikkan!’ ucapnya mengernyit jijik.
‘Tapi itu hubungan yang sah, dilakukan oleh dua insan yang sah,’ balasku tenang.
‘Iya sah, tapi entah knp ruangan kami begitu sempit sehingga tak bisa membenamkan suara-suara yang
seharusnya tak kudengar, itu membuatku trauma! Seperti kelak aku tidak ingin bercinta!’ katanya.
Aku menarik nafas dalam, entah apa yang harus kukatakan padanya.
Aku sendiri mencoba membayangkan persis dan seksama posisinya, Cih, sekadar bayanganpun aku tak kuasa!
Mana bisa aku memberi nasihat untuknya? Apa yang harus kutanggapi?
‘Tapi kamu tidak boleh trauma, kelak kita juga seperti itu,’ ucapku akhirnya.
Ucapan terakhirku itu kini kembali menghantuiku, seolah menamparku, menertawakanku. Yah, aku yang lucu!
Tiba-tiba suara tak bertuan mengitariku. Aku cepat menatap, menoleh kanan lalu ke kiri,
memastikan benar suara yang kudengar memang tak bertuan.
‘Kenapa kau tak membacanya kembali?’ tanya suara itu.
‘Aku takut..aku takut tak bisa mengendalikan imajinasiku,’ balasku sembari mengarahkan pandang ke sekeliling.
‘Kenapa tak kau biarkan imajinasimu liar sejenak?’ suara itu menjawab.
‘Tidak! Itu dosa!’ balasku marah
‘Hey, kau tak perlu marah. Harusnya kamu sadar, kau perlu tahu hal-hal seperti itu,’
suara itu mulai meremehkanku
‘Aku tahu! Aku tahu hal seperti itu!’ balasku tegas.
‘Tahu? Lalu hanya sekedar membaca kau tak berani? Hahaha’ suara itu tertawa.
Aku diam bukan mengiyakan tapi aku sendiri tak tahu apa mauku. Kembali suara itu bersuara
‘Kau harus membacanya, kalau tidak karyamu hanya akan menjadi karya mentah,
karya perawan yang polos tanpa polesan jiwa!’ tandasnya
‘Aku punya hati, aku bisa memaksimalkan hatiku, memberi nyawa dalam tulisanku!’ belaku.
‘Hahaha. Hey..! Hati saja tidak cukup Nona, dalam hidup hati ibarat bumbu, tapi seks itu penyedapnya,
tanpa pengetahuan tentang itu karyamu tak akan liar, tak berjiwa, rangkaian katamu kaku,
tak meliuk seperti liukan imajinasi liar!’
‘Aku bukan penulis ‘seks’ atau sastra berbau ‘seks’!
‘Aku tidak bilang dalam setiap tulisan harus ada seks, tapi itu pengetahuan untuk meliarkan imajinasi!’
‘Pandai-pandai membilahlah Nona,hahaha,’ dia kembali tertawa
‘Kau tak harus melakukannya! Lebih fleksibel lah dalam menyikapi warna dunia,’ lanjutnya
Aku masih terdiam. Bingung.
‘Ingat, tanpa kau buka pikiranmu, kau tak akan mengerti maksudku. Dan ingat, tanpa itu,
karyamu hanya akan menjadi karya mentah! Tulisan perawan!’
Tiba-tiba aku teringat film ‘Black Swan’, merasa sedang diposisi itu!
Lalu suara itu menghilang, ku tunggu selang beberapa menit, ternyata benar-benar sudah hilang. Aku terdiam..
Comments
Post a Comment