(Part#Singapore )
Harusnya memang tidak ada. Apa coba urusannya sayur bayam
sama ingin jadi dokter? kalau dibalik, hubunganya tentara sama tempe? Atau guru sama kue apem? Atau penari sama
pecel? Memang tidak ada keterkaitan. Sekalipun dianalisis tidak akan ada jurnal
yang membahas ‘pengaruh pecel dengan kegemulaian seorang penari’, atau ‘pengaruh
nikmatnya ayam goreng dengan peningkatan kinerja tentara dimedan perang’, aneh
kan? Dan memang tidak ada hubungannya! Tapi di hidup saya beda, itu sangat
berhubungan.
Dan saya menemukan hubungan gelap mereka, di Singapura. Mula cerita dari biro yang tidak menanggung
jatah makan kami, walhasil kami harus kuliner sendiri. Jadwal Mr. Sam mengantar
kami berkeliling dibatasi. Hari pertama hingga pukul 18.00 saja, malamnya kami
harus menggelandang sendiri. Sebelum meneruskan belanja ke Bugis Street lebih
dulu kami menelusuri jalan dan mencari-cari resto yang kiranya patut dicoba.
Tiba-tiba kami terhenti di depan salah satu resto India, kami melihat buku menu
yang tersedia di depan resto. “Waa sepertinya enak-enak, sini aja kali ya
Tha..?” sedang enak-enaknya membolak balik menu tiba-tiba seorang cowok kece keluar, “Please come in...”
tangannya mempersilahkan dan memberi kami jalan masuk! Padahal kita belum
memutuskan mau beneran makan di sana atau tidak, tapi mas-nya kece, gengsi juga
berlama-lama cuma melirik menu, akhirnya kami pun masuk.
Kembali si mas tadi menunggu pesanan kami, saya sih tidak
pernah ya makan makanan India, saya tidak tahu mana yang enak mana yang tidak,
tidak tau juga mana yang harus saya pesan. Asal tunjuk menu saja, ada gambar
yang kelihatanya bikin ngiler plus melirik harga tentunya. Karena resto tersebut masih di kawasan little
India (kawasan yang terkenal menengah ke bawah di Singapore) harga menu pun
tidak sebegitu mahal, tapi juga tidak sebegitu murah kalau di Rupiah-in).
Akhirnya, saya memesan yang aman untuk kantong. Sayang, saya lupa nama
makanannya apa, duh kenapa tidak saya catat ya?
Makanan datang, dan setelah di cicip. Ouugghhh...! ngga’
enak! Suer! Sumpah itu makanan bener-bener aneh rasanya. Adonan tepung kasar
tipis persis seperti di film-film India itu dengan 2 mangkuk kecil saus kare.
Dan kedua kare tersebut benar-benar tidak enak. Sudah saya coba
mengkombinasikan ketiganya, ini campur ini, itu campur ini, tetep saja tidak
enak! Untung teh tarik yang saya pesan cukup enak jadi cukup untuk membenamkan
keanehan rasa kare yang dari tadi tetap berusaha saya nikmati. Saya lihat Itha,
makan enjoy enjoy aja.
“Ko’ aku ga’ doyan ya Tha?” kataku.
“Kamu ga’ suka kuliner ya Re?” balasnya.
“Suka tapi ga’ aneh2 gini, ini ga’ enak banget Tha!”
“Yawda rotinya aja roti,” sarannya.
“Rotinya kasar gini seratnya,ampun deh makanan India”
kataku.
“Nah, tau gitu mau tinggal di India, gimana kamu makan di
sana?” balas Itha enteng.
“Oh iya ya, kalau makanan India seperti ini ogah ah
tinggal di sana!” balasku.
Saya jadi ingat Pramita, yang tahun lalu tinggal di India
menemani suaminya menyelesaikan beasiswa kuliah S2.
“Re, ngapain kamu nyari beasiswa ke India, di sini tuh ya
ga’ enak. Panas, kasur panas, TV Panas, lantai panas, aer panas, bahkan aku
harus mandi berkali-kali karena kepanasan. Terus di sini makanannya kare semua,
eh kamu jangan bayangin kare itu kaya’ yang di Indonesia ya, kare di sini
bener-bener kental dan super mblenek!
Aku aja udah ga’ tahan pengen balik ke Indo,” kata Pramitha yang kala itu masih
tinggal di India.
“Lha gimana Mith, orang Cuma India yang cover biaya all, terus juga inggrisnya ga’ setinggi negara-negara lain,
sepertinya nyasak Australi, Eropa itu mimpi kali ya!” saya berusaha membela
diri.
“Iya memang susah sih, tapi dicoba aja, waa kamu ga’
bakal suka di sini. Cuaca panas, orang-orangnya juga uugghh,,,ibarat di jalan
neh ya, ada tabrakan mereka tidak nolong dulu tapi ribut dulu, terus orangnya
ga’ on time! Tapi kalau yang baek
banyak juga sih, tp lama aku di sini aku semakin sadar negeri kita indah Re,
mending negeri sendiri deh! Percaya deh Re!”
Ketika dulu Pramitha berkata seperti itu saya merasa
tidak gencar, saya tetap mau ambil beasiswa ke sana. Tapi setelah tau sendiri
kare yang di maksud itu yang kini tengah ada di hadapan saya, saya benar-benar
tidak bisa membayangkan. Jadi, nanti saya tiap hari harus makan seperti itu?
bisa-bisa ga’ makan selamannya ! shock
culture itu bukan sekedar teori, perlu benar-benar di bayangkan!
Jadi, ceritanya makam malam pertama saya di sana tidak
bisa dihitung sebagai makan, anggap saja itu cuma ngemil ciki. Paginya, sebelum berangkat ke USS, kami kembali berjalan
mencari resto pagi. Ternyata tidak banyak resto pagi di sana, dan masing-masing
resto hanya membuka menu-menu tertentu untuk breakfast. Dari luar kita lihat nasi, ee...setelah masuk ternyata
itu bukan kategori menu pagi, akhirnya kita pindah lagi. Setelah cape’ muter-muter
nyari menu yang sesuai, akhirnya kami
memutuskan sedapatnya dan berhenti di salah satu resto. Karena keterbatasan
menu kami asal memesan yang terlihat enak.
Dan ternyata.....yang kami pesan makanan aneh (lagi). Segumpal
adonan putih lembeknya seperti tahu blenderan yang dipadatkan, rasanya masam! Satu
lagi yang kami pesan segumpal roti semi kering semi empuk. Kalau di Indonesia
itu seperti gelek yang sudah mlempem. Duh, pagi-pagi makan gelek mlempem, ancur perut saya! Sudah saya coba berulang-ulang dari ke dua
makanan itu tetap saja tidak ada yang nyaman di perut. Anehnya, Itha tetep aja makan dengan
santainya.
“Ngga’ doyan lagi Re?” tanyanya.
“Hehe ini juga ga’ enak Tha, he” balasku polos.
Sedikit membahayakan memang karena sedari malam saya tidak
makan. Sarapan tidak bisa dikatakan sebagai sarapan, padahal aktivitas hari ke-2
adalah di USS, yang pasti butuh energi ekstra di sana. Untung ya Allah! saya
bawa Pop Mie, jadi semalam makan Pop Mie doang!.
Baru sore hari, saya makan di USS yang bisa dikatakan
sebagai benar-benar ‘makan’ itu. Nasi sayur, puding ma sate 3 tusuk doank! Biarpun
mahal tapi tidak apa-apa, perut saya lebih pantas diselamatkan daripada uang
berapapun! Apalagi aktivitas kami masih panjang karena rencananya di malam
terakhir, kami akan begadang untuk berbelanja. Hufft...hidup saya memang
sedikit direpotkan oleh makanan, huftt...
Malamnya dalam perjalanan ke Ochard tiba-tiba saya merasa
lapar, bagaimana tidak, itunganya saya cuma makan sekali itupun porsi
minimalis. Kami sudah ke sana kemari mencari Mac Donald tapi nihil! Saya usul
ke Itha, kali ini kita harus benar-benar makan ‘nasi’, tidak boleh tidak karena
magh saya bisa kambuh. Karena tidak menemukan resto di Ochard, akhirnya kami ke
kawasan arab dekat Mustafa Centre. Di sana kami pesan nasi apa gitu lupa
namanya plus ada ayamnya. Tapi menurut saya itu makanan sama sekali tidak
indah, terkesan amburadul! Apa memang seperti itu sajiannya ya? Jadi, itu nasi
seperti dicelupkan ke kare kuning, masih mending kalau airnya saja yang
bercampur, lha ini bumbu-bumbunya masih kasar terasa di mana-mana plus ayam
dicampur aduk. Tapi ternyata, nasi tersebut tidak bisa menyelamatkan lambung
saya yang terlanjur sakit. Walaupun nasi, tapi kalau kemasan seperti itu dan
rasanya seperti itu, enaknya di mana? Tapi lagi-lagi, Itha makan saja dengan
lahap!
“Kenapa ga’ dihabisin?” tanyanya,
“Aneh gini yah rasanya Tha,” balasku untuk kesekian kali
dan merasa bersalah padanya karena tidak pernah bisa menikmati semua makanan
yang kami beli.
“Duh Re, kamu makan susah banget ya, katanya nasi, ini
nasi juga ga’ doyan terus maunya apa? Gimana bisa kuliner kamu kalo’ kaya’
gini!” kata Itha.
“Lha itu, aku juga bingung Tha, padahal aku pengen ke
mana-mana tapi lidahku ga’ bisa menerima benda-benda asing, terus ga’ bisa
telat makan juga hiks...” balasku sedih.
“Yauda yauda,,,ayamnya aja di makan nasinya ga’ usah,”
balasnya.
“He, gimana kalau kamu makan ayamnya karna perutku
bener-bener dah ga’ bisa menerima makanan lagi!” Terpaksa Itha bantu memakan
ayam saya.
Itungannya berarti 2 hari di sana saya cuma makan mie
sama sate 3 tusuk lho o, sudah gitu saya jadi trauma kalau harus backpacker-an ke Luar Negeri lagi.
Ya..kalau di Indo dan Malay sih masih mendingan kali ya secara lidahnya masih serumpun.
Tapi saya jadi mikir lho, ini yang salah lidah saya, atau
kami yang selalu salah milih resto atau memang makanannya tidak enak? Padahal di
depan hotel kami ada resto padang, cuma tidak kami coba karena rencana ingin
mencicipi kuliner di luar, giliran balik ke hotel restonya sudah tutup,
hiks..nyesel!
Itulah pertama kalinya saya disadarkan betapa kondisi
saya itu tidak sinergis dengan impian saya! Dari soal sederhana saja, soal
makan! Berarti 3 hari menggelandang saya itungannya cuma makan beberapa kali,
itu yang benar-benar bisa disebut ‘makan’ dan kenyang. Di bandara Soekarno
Hatta dan di Uss. Pulangnya, sampai di
Indo kami langsung ngacir mencari resto pesan nasi dan memakannya dengan lahap!
Gila, duit segitu di Indo bisa kenyang, di Singapore itungannya nyicip-nyicip doang!
“Laper banget ya Re?” Itha menghentikan aktivitas
makannya dan menatap saya makan dengan begitu lahapnya.
“He eh,banget!” balas saya seraya melahap dengan gesit. Saya
heran, masih mending saya makan besar di Uss sedang Itha ngga’ karena dia
nonton Madagaskar Show, dia Cuma beli nudget
ma kentang, terus masih mending saya makan Pop Mie sedang Itha tidak (saya
tawarin dan paksa- ga’ mau!) itungannya intensitas makan saya lebih banyak
dibanding dia tapi kenapa ya dia
kelihatannya sehat-sehat saja dan tidak kelihatan kelaparan?
Comments
Post a Comment