Seminggu lagi atau
selambat-lambatnya sebulan lagi, sepertinya aku akan kembali dipanggil “mam”. Mam disini berbeda dengan Mom, Mam artinya
orang yang dianggap Ibu namun tidak terikat darah. Bila di bahasa Indonesiakan
adalah “Bu”, “Bu” untuk bu guru dan bukan “Bu” untuk Ibu (wanita melahirkan).
Rupanya Allah SWT sungguh benar
menyayangiku. Biarpun hampir keseluruhan
temanku sudah dipanggil “Mom”,”Mami”,”Bunda” atau bahkan “Umi” oleh darah
daging mereka, tapi aku juga masih diberi kesempatan untuk dipanggil “Mam” walaupun
oleh orang lain (anak lain). Kembali menjadi ibu guru, meski bukan pada jalur
resmi (baca : sekolah).
Kembali menjadi guru mengingatkanku
pada salah satu murid yang kutinggal sekitar 3 tahun lalu. Namanya Angga. Kala
itu Angga masih duduk di bangku kelas V Sekolah Dasar, sama dengan adik kecilku,
Ipang. Karena sekarang Ipang kelas 2
SMP, itu berarti Angga-pun duduk di kelas yang sama.
Entah bagaimana dia sekarang,
entah seperti apa rupanya. Pasti sudah menjelma menjadi seorang remaja putra
yang tampan. Dia memang tampan, berhidung mancung, rambut jabrik, putih,
mukanya setali dengan Kiki Farel menurutku. Aku yakin kelak dia besar akan
menjadi idaman para wanita. Bu Iswari, ibunya selalu bercerita selepas
pengajaranku, betapa anaknya digandrungi
dan suka digoda oleh teman-teman wanita sekelasnya. Bahkan katanya, kakak-kakak
kelas 6 juga sering mencuri perhatian Angga.
Pertama kali aku bertemu Angga
dia memanggilku “Bu” dan mencium kedua tanganku, tapi beberapa menit kemudian
meralat menjadi “Mba” setelah menyadari sepertinya aku masih cukup muda. Setelah
sekian lama menghilang dan tidak bertemu, hari ini aku tiba-tiba teringat pada
murid kecilku itu. Karena aku sadar, besok aku akan segera kembali memiliki
murid. Yang kuragukan, akan seperti apa muridku esok? Masih tanda tanya.
Bicara soal mengajar dan Angga,
aku teringat betapa repotnya waktu pertama kali mengajarinya. Rupanya bocah
satu itu kurang tanggap dalam hal pelajaran. Dia cerdas secara emosional, sopan
santun, berbakat beramain drum, tampan, tapi lemah pada mata pelajaran. Awalnya
aku pancing dengan mengenali karakteristiknya.
Aku lebih banyak mengajaknya sharing,
untuk tau dia lebih dalam. Aku tanya hobinya, apa yang dia suka, musik yang dia
suka dan setiap jawabannya selalu kukembangkan agar dia merasa dekat denganku
dan paham bahwa aku dekat dengan apa yang dia suka.
Angga bukan anak Eksak, jiwa
seninya lebih lumayan ketimbang harus beradu angka. Bahkan pelajaran sejarahpun tidak bisa dia
terima dengan baik. Akhirnya, aku harus merubah diri menjadi pendongeng sejarah
agar dia lebih tertarik dan mudah menerima materi, dan ternyata itu bekerja!
Sembari mengingatnya sembari aku
teringat pula rasa buruk yang harus kuterima ketika mengajar. Pressure tinggi
dan gejolak paranoid tiap kali akan berangkat mengajar. Itu tidak mudah
dilalui. Esok pasti sama rasanya, namun aku harus pandai mengantisipasinya
sedari sekarang.
Aku harus menyadari bahwa aku tidak
pandai. Banyak materi yang tak bisa kukerjakan tanpa membuka buku referensi
ataupun check google. Menyadari itu
aku berusaha menggali apa yang aku bisa, tanggung jawabku kala itu adalah nilai
anak itu harus bagus, anak itu harus berkembang. Lalu terbesit untuk merubah mindset Angga secara perlahan. Mungkin
aku tidak bisa mengajari cara berhitung yang baik tapi aku bisa menanamkan
bahwa matematika itu mudah dan itu berguna untuk dirinya kelak. Bahkan sering
kali aku mengaitkan pelajaran dengan keinginannya menjadi astronot. Ternyata perubahan
mindset yang kutanamkan lebih
bekerja. Bu Is bilang, dalam bulan-bulan terakhir ini guru sekolah Angga berkata
banyak perubahan positif pada diri Angga. Dulu yang dikenal sebagai anak yang
bandel di kelas kini mulai anteng,
dulu selalu malas menerima pelajaran sekarang lebih percaya diri untuk
mengangkat tangan. Kepercayaan diri itulah yang aku target sebenarnya. Setelah mindset berubah, maka daya tangkap
pelajaranpun akan semakin baik,pikirku. Kala itu Angga tak paham bahwa cara
berfikirnya sudah kuaduk-aduk, tapi untuk hal positif.
Mengetahui hal-hal seperti itu
adalah anugerah yang benar-benar membuat hidupku bahagia. Setidaknya hidupku
berarti untuk satu orang. Buatku, Itu seni menikmati hidup dan seni mengajar.
Hingga akhirnya suatu hari aku
menyerah. Menyerah dengan keadaan yang menghimpitku. Bisa dibayangkan kala itu,
aku masih bekerja di garment, pulang kerja sekitar pukul 5, sampai rumah pukul
6, makan, solat dan berangkat mengajar hingga larut. Apa arti tubuhku yang ringkih ini. Aku makhluk lemah tak kuasa
harus menahan pressure berkali kali
lipat akibat dari padatnya kegiatan.
Hari terakhir aku di rumah Angga,
aku membawa seorang teman atau lebih tepatnya guru pengganti untuknya. Bu Is
lalu bilang, “ini nanti yang akan mengganti Mb Ire, jadi nanti Angga belajarnya
sama Mb Wiewien.” Angga setengah kaget
menatapku, lalu mencium tanganku seolah menahan gejolak rasa kehilangan. Batinku
serasa teriris kala itu. Aku tak pernah melihat muka Angga seserius seperti
kala itu. Bahkan, sampai di rumah dan
selama 2 hari hari aku masih membawa rasa sakit itu. Itu rasa kehilangan
seorang murid. Aku jadi membayangkan, bagaimana rasanya guru-guru sekolah tiap
tahun melepas murid-muridnya. Mungkin bagi sebagian orang terdengar “lebay”
tapi buatku itu adalah bukti sayang kita terhadap murid. Bukti betapa kita
bahagia melihat mereka berkembang dan terus maju.
Aku tak tahu apa kelak mereka
masih teringat padaku. Muridku memang bukan Angga, dulu sewaktu kuliah aku
sempat punya beberapa murid. Namun, mungkin karena faktor kedekatan waktu, aku
masih mengingat Angga secara detail.
Dengan bentuk pengabadian tulisan
kali ini, berharap bisa mengingat kembali susah senangnya punya seorang murid! Satu
hal yang aku dapat ketika mengajar adalah perlunya rasa ketulusan, dan keikhlasan
ingin memajukan murid didiknya. Terkadang hal itu yang sering kali dilupakan
oleh para pengajar. Mereka hanya fokus pada penyelesaian mata pelajaran. Seolah itu tanggung jawab utama mereka.
Mereka lupa akan unsur-unsur sederhana yang sebenarnya malah merupakan esensi
dari mengajar itu sendiri.
Comments
Post a Comment