Skip to main content

A PARTNER

(Resign, anugerah atau masalah?)

Babadan, rumah Nonob

“Hai Nob, Mio baru?” tanyaku melirik sebuah Motor MIO berdiri gagah di balik pintu rumah Nonob.

“He em,” balas Nonob mesem.

“Uiihh...! keren!” balasku kagum. 

“Kamu beneran resign?” tanyanya.

“He em, udah nganggur dua hari.”

“Mending dong, aku udah nganggur seminggu lebih.” 

“Jangan kuatir, setelah ini ajak kamu sibuk, oke?”

“Sip!” balas Nonob sumringah.

“Siap?” Aku menengok ke belakang. Nonob selesai membenahi duduknya. Karna bukan motor matic, terpaksa Nonob mengangkat rok gamisnya hingga lutut. Itu supaya dia tidak perlu membonceng arah samping yang mana akan menggoyahkan keseimbangan mengemudiku.  (Itu juga salah satu alasan aku ingin ganti motor matic!)

Di toko buku
“Nyari buku apa sih, Re?” tanya Nonob.

“EYD Nob, sama kamus KBBI, buruan cariin,” tegasku.

“Nyari buku bahasa bukan di sebelah sini.”

“Terus di mana?”

“Ayo ikut aku, aku tuh ya apal denah Gramedia, secara hampir tiap minggu ke sini nganter adikku cari buku,” kata Nonob bangga.

“Oowwh...gitu ya udah sana cariin, KBBI!” Sekalian dia aku manfaatkan, batinku.
Selang 2 menit Nobita berteriak,

“Re.....!” teriakannya sempat menyita perhatian mas-mas pengunjung yang juga tengah sibuk mencari buku.  

“He...” aku senyum sedikit malu sembari nengok kanan kiri, maaf mas mbak, teman saya lagi bersemangat, he.

“Jangan teriak-teriak dong Nob, ada apaan sih?” suaraku mengajak obrolan lirih.

“Lhoh, katanya nyari KBBI? INI...KAA..BEE..BEE..III..tuh kan langsung dapet!”
Nonob kembali sedikit berteriak, huft...sabar...sabar.

“Iya-iya pinter, tapi jangan segede ini juga kali! Harganya pasti mahal. Yang murah gitu Nob, rada kecilan.” Kitapun bergegas mencari buku yang aku maksud dan meneruskan perjalanan.

“Gimana risetmu?” tanyaku sembari kami sibuk melihat buku kanan kiri.

“Lagi sepi, ga’ ada gawean aku.”

“Kenapa ga’ nyari?”

“Kemaren daftar research UGM, butuh banyak orang tapi malah telat, ga’ jadi deh.” 
Kekecewaan tersirat dari ucapan Nonob.

“Nyari yang laen dong!” balasku.

“Kadang aku malah mulai ngerasa gini Re, aku dah kerja baik-baik malah resign, terus sekarang semua orang seolah menyalahkanku, katanya aku dah kerja enak malah resign, sekarang nganggur. Mana adekku banyak,lagi! bukannya kerja bantu keluarga malah nganggur, aku dah nyari-nyari kerja lagi lho, tapi belom dapat,” muka Nonob berubah muram.

“Jangan kerja lagi dong, kalau balik lagi kaya' dulu itu artinya kita kalah, orang yang menghinamu justru tambah menertawakan. Sek,kamu dulu tujuan resign buat apa?”

“Buat ikut riset-riset. Kerja di sana bukan aku banget!”

“Nah...kalo’ gitu cari riset, kerja seperti keinginanmu Nob. Masa’ neh ya, udah resign susah-susah, rela kehilangan pendapatan malah sekarang nyerah?”

“Tapi kerja riset ngga’ tetap lho Re, kadang ada, kadang ngga’,” tandasnya.

“Tapi setidaknya kamu pernah dapet duit dari riset,kan? Coba kamu pikir, aku belom pernah dapet apa-apa dari nulis, harus belajar dari nol lagi! Eh, btw sekali riset dapet berapa?” tanyaku menyipit.

“Ya... itu...MIO baruku.”

“Wuiiih...gila! MIO baru hasil dari riset?” aku melongo.

“Bukan bukan! Dp-nya doang..sekitar.....” Nobita menghentikan ucapannya. 

“Tujuh....” lanjutnya lirih.

“Wow gede juga ya, ya udah mending nyari tender riset lah. Eh, aku kasi tau ya, riset di Indonesia itu buanyak banget, ga’ Cuma di UGM. Kalo’ gagal di sana bukan berarti gagal di tempat lain.”

“Iya sih..” ucap Nobita lirih

Gila aja, sekali riset segitu, pikirku.  Nulis saja awal-awal, impossible bisa segitu. Jadi kepikiran apa sebaiknya aku masuk riset marketing,ya? Bantuin dosen-dosenku dulu. Nilai metode penelitianku dulu ya...lumayanlah! apalagi MP adalah mata pelajaran favoritku dulu, dosennya Pak Riyadi juga dosen idolaku. Ihirr.... tampung dulu sarannya, thank you thank you.

“Nah ini Nob, KBBI yang sedeng,” ucapku spontan. Kulirik harganya, 50ribuan. Kucari-cari lagi yang lebih besar. Ada satu warna merah bata, KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA edisi lux,70ribu. Sepertinya yang ini lebih OKE, pikirku.

“Apa ga’ sebaiknya kamu beli di loakan aja? Di sana kan lebih murah, yang KW,” kata Nonob.

“Ngga’ mau lah, gini ya Nob, secara cita-citaku itu mau jadi penulis, masa iya aku harus beli buku KW. Dulu semasa kuliah emang sempat fotocopy beberapa, tapi aku dah janji ma diri sendiri besok kalo’ dah kerja kalau beli buku itu yang asli, atau mending pinjam PerPus, gitu daripada beli KW.”

“Ciee....” balas Nonob sedikit ngece. Memang tekadku seperti itu, tapi kalau buku-buku mapel dulu tetep lah fotocopy, maksudku, selain materi mata kuliah,he.

“Itu ada EYDnya?” tanya Nonob.

“Ada dong.”

“Mana?”

“Sepertinya ada, cuma ga’ bisa di cek. Ga’ ada sample yang udah bukaan. Padahal aku mau bandingin dulu dari ke dua buku ini mana yang lebih oke dalemnya.”

“Ya udah buka aja to, Re!”

“Gila aja, tar kalo’ ketauan dimarahin,gimana?”

“Halah, ga’ papa! takut amat! Sini aku yang buka.” 

Nonob menyambar buku di tanganku, sreekk..langsung menyobek plastik pembungkusnya. Duh, ini anak! Aku menoleh ke kanan dan ke kiri melihat sikon, takut ada yang lihat atau melapor ke petugas.

“Udah kamu santai aja, ga’ papa kan? Neh liat dalemnya,” kata Nonob sembari menyodorkan buku yang barusan dia perkosa. Aku memperhatikan dengan seksama, lho? kenapa font pilihannya begini ya?pikirku heran. 

“Emm...Nob... satu lagi dong buka, hehehehe,” pintaku.

“Yeee...buka aja sendiri.” 

Terpaksa aku ikuti saran liarnya untuk membuka buku satunya. Keasikan membuka sampul buku, akhirnya tiap kali liat buku bagus tapi tidak melihat sample yang sudah terbuka, aku sobek pembungkusnya. Sobek lagi, sobek lagi, dan sobek lagi. Entah berapa pembungkus yang aku buka, dan sisa plastiknya di umpetin di sela buku-buku. Maaf,yang seperti itu dosa ga’ ,sih?

“Re...beliin buku ini dong!” Nonob memegang sebuah buku bersampul warna Pink.

“Buku apaan tuh?” tanyaku. “Oowwh buku cinta-cintaan? Ogah, lagian kamu tahu aku lagi ngirit!”

“Bukan, ini untuk menentramkan hati!” belanya. 

“Owh, kamu lagi galau ternyata? Oh ya, katanya mau married tahun ini?” tanyaku.

“Belum belum, kata siapa?” Nonob balik tanya heran.

“lhoh, kemaren lebaran bilangnya gitu? Katanya udah dilamar?”

“Belum, maksudnya dilamar ke aku doang, belum ke orang tua.”

“Ya udah suruh lamar aja ke orang tuamu, gampang,kan?”

“Ga’ segampang itu, udahlah aku mending lupain dia!”

“Lhoh, putus?”

“Belom juga, dia belum bisa ngelamar. Padahal kan kamu tahu, umurku dah...”

“Yaelah, jadi galau gara-gara ga’ dilamar-lamar?” Nonob terdiam sepertinya mengiyakan.

“Bukanya aku setahun lebih tua dari kamu ya? Menurutku kamu santai aja, ga’ perlu galau. Emang sih cowok yang baik itu seharusnya mementingkan komitmen lebih dari apapun. Kan kita lebih berharga daripada alasan-alasan dia menunda lamaran, bukan?” 
“ Tapi....”

“Tapi...?” Nonob menunggu lanjutan ucapanku.

“Tapi kamu objektif juga liat dia, apa dia sangat berharga melebihi waktu kamu menunggu? Kalau dia emang pantas ditunggu, ngga’ salah kok kita tunggu.  Kalau kamu harus ninggalin dia Cuma gara-gara ngga’ mau menunggu, itu artinya dia tidak lebih berharga dari waktumu, bukan?”

“Tapi umur kita Re....”

“Nob...” Potongku. Kurangkul dia, sembari berjalan, kulirihkan suara agar orang-orang tidak mendengar pembicaraan kami. 

“Kalo aku.....aku akan menikah..bukan karena umur, bukan karena teman-temanku sudah beranak, bukan juga karena omongan para tetangga-tetangga, bukan pula karena adekku segera melangkahiku...!. Tapi...aku akan menikah karena Allah sudah Ridho..dengan orang dan waktu yang tepat. Itu kalau aku!” kulepaskan rengkuhanku.

“Dan satu lagi, terlambat bukan alasan untuk dapat seada adanya lho,Nob” tambahku.
Hm...semoga temanku ini mengesudahi galaunya.

“Eh Re,serius mau nulis?” Nonob memulai arah pembicaraan lain.

“Hmmm....” tanda setuju. 

“Kamu mah baru 2 hari di rumah, coba ntar tabungan mulai menipis, seperti aku jadi galau. Bensin aja aku harus minta ke Ibuku. Kalau beli apa-apa sekarang pikir-pikir.”

“Iya sih, mungkin ga’ murni nulis juga, sembari ngajar gitu. Kan aku pemula belum tentu bisa menghasilkan duit jadi harus cari sambilan laen.”

“Ngajar? Di mana? Mau dong..!”

“Privat aja yang waktunya luang, oke tar kalo’ aku dapat murid lebih dari satu aku kasih ke kamu deh.”

“Oke,sip!”

Dalam batin aku mengiyakan ucapan Nonob. Semakin jauh, pasti akan semakin berat.  Idealisme semakin terkikis, kepercayaan diri memudar, optimisme surut,galau menghadang setiap hari, galau karena hidup tidak jelas atau sekedar karena belum juga dilamar orang. Tapi...makasih ya Nob, buatku itu peringatan sedari awal, aku tidak boleh menyerah! Buatku itu peringatan untuk lebih siap siaga.

“Padahal Re, aku baru mau belajar toefl dari kamu lho.”

“Belajar gimana, orang toeflku aja 465 doank. Target awal tahun ini harusnya bulan ini toeflku udah mencapai 500-550 lah..tapi gagal.” 

Tiba-tiba muncul ide di benakku.

“Eh, kamu ga’ ada kegiatan,kan? Gimana kalau tiap hari kita share belajar Toefl bareng?” ajakku.

“Boleh-boleh.” Nonob mengiyakan.

“Mulai besok?”

“Oke oke.” Jawab Nonob bersemangat. 

Setidaknya harus memaksimalkan waktu dengan kegiatan-kegiatan yang positif,pikirku.
“Eh Re, mau aku ajari makan gratis? Besok ada pelantikan Gubernur, orang-orang bebas makan sepuasnya, mau?”

Apa itu efek nganggur? Batinku. Fine...Sepertinya aku harus membiasakan diri dengan kata “Pengiritan”&”gratisan”.

“Oke..oke...mau juga aku ajari cara ke Singapore gratis?” tantangku balik.

“Mau!gimana cara?”

“Gini... ada kompetisi neh....bla...bla...bla........”

Dan kami pun larut dalam obrolan antar orang-orang jobless.....yang masih mau menyalakan harapan. Aku menyadari satu hal, ini bukan soal keberhasilan. Ini lebih kepada bentuk penghargaan terhadap diri sendiri. Mencintai diri sendiri, sebagaimana dengan mewujudkan keinginan diri dengan tidak membiarkannya terkekang oleh hal yang tidak diri kita suka. My Allah...I need my Allah everytime in my life..every breathing...every second and everywhere I am. Pls help me & guide me to find my way,amin.

Comments

Popular posts from this blog

Sentilan Kumpulan Puisi Ublik Karya Ono Sembunglango

Puisi bukan hanya soal keindahan tata bahasa dan olah kata. Puisi mempunyai pencipta yang olehnya terdapat kedalaman rasa. Ini bukan soal data, tapi karya yang dilahirkan dari perpaduan antara kepekaan, perasaan mendalam dan kemampuan untuk menafsirkannya.  Setiap sastrawan melahirkan keresahan yang menyelubungi pikiran dan tubuhnya, sebagaimana Ono Sembunglango ketika melahirkan “Ublik” -yang merupakan kumpulan buku puisi pertamanya.  Meski bukan lahir dari daun lontar dan kertas Sinar Dunia, Ublik yang dikumpulkan melalui catatan media digital ini tetap menjadi sebuah catatan keresahan yang mewakili suatu masa. Pak Ono, mungkin begitu saja saya memanggilnya. Seorang yang saya temui dalam event blogger 2 Oktober 2024 lalu. Saya -yang bukan siapa-siapa dan baru dalam dunia blogger ini- tidak begitu banyak mengenal orang, dan saya tidak akan mengenal beliau andai kata teman sebelah saya tak menyebut kata Sutardji Calsoum Bahcri, sang maestro puisi mbeling. Ia bilang Sutardji ...

Mengendus Buku Jurnalisme di Luar Algoritma

Ada yang berubah dari wajah jurnalisme kita. Masyarakat di era ini membutuhkan kecepatan, berita harus diramu secara cepat kalau tidak mau ketinggalan. Tak dipungkiri wartawan kalah adu cepat dengan warga yang berada di tempat.  Soal kode etik mungkin mereka tak paham tapi kecepatan tentu tak diragukan. Siapa peduli dengan kode etik di jaman ini? Publik lebih menikmati video kejadian yang diambil para amatir dengan dalih originalitas. Soal akurasi tentu media juara, tapi kecepatan bisa jadi sebaliknya.  Sebenarnya hal seperti ini sudah bisa terendus dari belasan tahun lalu, saat di mana kemampuan handphone semakin di upgrade dan internet semakin dekat dengan masyarakat. Jurnalisme warga kala itu disambut sukacita sebelum pada akhirnya membuat tatanan dunia digital semakin chaos . Roma perubahan ini tentunya terendus media sedari lama, namun beda hal soal tanggapan. Ada yang bergerak cepat dan berupaya menyesuaikan diri tapi ada juga yang perlu lebih dulu mengkaji. Di luar cep...

Merayakan Ulang Tahun dengan Glamping di Puncak Bogor

  Laki-laki memang sulit ditebak. Dari sekian banyak tawaran hadiah ulang tahun yang saya tawarkan, suami justru memilih camping. Masalahnya, kami berdua bagai langit dan bumi, kutub utara dan selatan. Berbeda dalam segala hal termasuk memilih tempat liburan. Suami cenderung memilih tempat-tempat tenang, tidak banyak orang, dingin dan bisa beristirahat seperti camping dan hiking sementara saya lebih suka ramainya pasar, konser musik, serta wisata-wisata kota. Tapi karena ini soal hari jadi suami maka saya harus banyak-banyak mengalah. Yah bolehlah camping asal jangan dulu hiking . Sebenarnya sudah lama juga saya ingin menemaninya hiking tapi memang kondisi belum cukup baik dan saya belum berdamai dengan udara dingin. Kipasan satu jam saja saya tidak kuat apalagi menahan dinginnya gunung?! Lalu kami pun melakukan deal-dealan dan sampailah ke kata glamping. Istilah glamping belakangan cukup populer, bukan? Camping tapi glamor. Kalau camping kita masih harus repot-repot membawa...