Skip to main content

Antara Saya, Abuba Steak dan Ji Eun Tak


Saya dan Ji Eun Tak punya kesamaan. Kami sama-sama menyukai daging steak. Belakangan saya sadar, itu bukan kesamaan biasa. Faktor ekonomi membuat kami sama-sama menyukainya. 

Oh ya, bagi yang tak tau siapa itu Ji Eun Tak, dia adalah salah satu karakter di drama Korea Goblin atau Guardian : The Lonely and Great God. Sebuah drama yang cukup lawas dan tenar sekitar tahun 2016. 

Eun Tak tumbuh miskin tanpa orang tua. Satu-satunya keluarga yang ia punya justru mengincar warisan ibunya yang tersimpan di bank. Untungnya tak seorang pun tahu di mana si ibu menyimpan buku tabungannya, termasuk Eun Tak sendiri. 

Bukannya menjadikan hidup Eun Tak lebih baik, keluarga tersebut justru membuat hidupnya semakin susah. Mereka memperlakukannya tak lebih dari seorang pembantu.

Melihat alur hidupnya, saya kira semua orang paham mengapa Eun Tak memilih steak ketika ditraktir sang Goblin. Mungkin seumur hidupnya ia jarang makan daging atau mungkin juga daging adalah simbol kecil dari kebahagiaan yang jarang ia rasakan.

Ya, mungkin saja. Mungkin itu pulalah saya juga menyukai steak. Meski tumbuh dengan keluarga lengkap, tapi saya cukup jarang memakan daging. Jangankan daging sapi, daging ayam pun jarang. Paling-paling ketika ibu gajian akan membeli daging ayam seperempat ekor. Ibu akan memasaknya dengan kuah soto untuk dimakan sekeluarga. 

Sejak bekerja saya selalu menyempatkan diri makan steak. Tempat makan Steak di daerah saya tidak banyak, paling hanya ada satu dua saja. Yang paling terkenal ya si warung kuning -yang hingga saat ini masih menjadi langganan tetap saya.

Saya termasuk setia soal tempat makan. Kalau sudah cocok di tempat itu, ya tidak akan berpindah atau penasaran dengan tempat baru. Bahkan menu yang saya pesan selalu sama, tak sedikitpun saya penasaran dengan menu-menu lain. Suami tahu betul kebiasaan itu, makanya kalau ada kesempatan ia selalu mengajak saya makan di sana.

Masalahnya adalah beberapa waktu belakangan saya cukup kecewa dengan warung ini. Tidak seperti biasanya, daging yang disajikan cukup keras dan sulit dikunyah. Kalau biasanya pulang dengan rasa puas, kali ini saya pulang dengan sedikit resah. 

Apalagi porsi original steak di sana memang tidak besar. Berangkat lapar pulang pun masih lapar. Bahkan pernah saya pulang dari di sana, masih mampir di warung bakso karena saking laparnya.

Sebenarnya soal porsi bukan masalah besar selama rasanya enak dan bikin puas. Kalau tidak kenyang pula tidak puas, rasanya kesal juga. Dari situ saya mulai melirik tempat steak lain. 

Ada beberapa yang namanya sering hilir mudik di telinga tapi belum pernah saya coba. Kata orang tempat-tempat itu jauh lebih mahal dibanding steak langganan saya. Suami beberapa kali menyarankan untuk mencobanya, tapi sungkan saja rasanya. 

Bagaimana kalau saya justru suka dan standar steak saya naik? Bukankah seterusnya kami harus menghabiskan budget ke sana? Ah, ribet sekali urusan makan bagi yang berkantong pas-pasan ini!

Namun hari ini, niat saya bulat: saya ingin makan di Abuba Steak. Ternyata harganya masih wajar untuk kantong saya. Ya, sesekali saja boleh, kan? tidak harus setiap hari juga! 

Dari luar tempat Abuba terlihat lebih baik dari warung langganan saya. Karena belum pernah sekalipun makan di sana, saya pun memakai baju yang pantas dan rapi. Memang tak ada aturan harus berpakaian seperti itu tapi saya ingin staf di sana melayani saya dengan baik. 

Kalian paham kan bahwa di negeri ini isi dompet orang masih dipandang dari cara berpakaiannya -yang padahal belum tentu benar. Saya  tak mau ada drama saltum atau tatapan sinis hanya karena saya pakai baju terlalu biasa. Tujuan sebenarnya ya untuk memangkas drama-drama tadi, biar lebih cepat saja prosesnya. 

Di tempat ini saya benar dilayani dengan baik. Staf membukakan pintu dan menyambut saya dengan hangat. Saya lalu menanyakan soal voucher diaplikasi TikTok. Awalnya saya takut mimik si staf akan berubah karena saya hendak memakai voucher TikTok, tapi ternyata saya salah. Ia justru menawarkan jasa untuk membantu saya agar prosesnya lebih cepat dan mudah. 


Kurang dari 5 menit transaksi kami selesai. Ia menanyakan di mana saya hendak duduk. Saya menunjuk bangku yang ada di pojokan agar bisa melihat kondisi ruangan  secara keseluruhan. 

Tak lama setelah duduk, si staf kembali datang untuk menanyakan beberapa hal terkait pesanan seperti tingkat kematangan daging, jenis saus dan jenis kentang yang saya inginkan. Oke, saya belum pernah ditanya seperti ini sebelumnya tapi tenang, saya sudah pernah melihatnya difilm-film jadi tahu apa yang harus saya lakukan. "Well done, Kak" jawab saya.  Yes, akhirnya ke well done well done-nan ini mampir juga dalam hidup saya, huahahaha.

Saya memesan paket tenderloin lengkap dengan saus mushroom, french fries dan segelas es teh manis. Menu yang ternyata tak jauh-jauh dari yang biasa saya pesan di tempat lain. Huft, sepertinya memesan menu sama sudah menjadi tabiat yang sulit dihilangkan! 

Saya menunggu sedikit lama. Es teh di hadapan saya bahkan mulai mencair dan berkurang jumlahnya. Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya pesanan saya datang juga. Si staf berkata jika tingkat kematangannya kurang, bisa langsung menghubunginya, mereka akan menggantinya dengan daging yang baru. 

Hm, melihat makanan di meja, saya berpikir bahwa ini bukan hanya soal size yang lebih besar dengan irisan jagung yang lebih banyak saja. Ini soal pelayanan dan pemenuhan setiap kebutuhan dari pelanggan. Mereka membuat setiap orang istimewa dengan pilihannya masing-masing. Ada yang mungkin ingin daging setengah matang, ada yang harus benar-benar matang, ada yang ingin mashed potato tapi ada juga yang ingin sekadar french fries.

Saya belajar dari ini bahwa memang ada harga yang harus kita bayar untuk sebuah pelayanan istimewa. 

Si koki dari dapur menatap saya, seperti menunggu suapan pertama mendarat di mulut. Mungkin dia sedang menakar, akankan mulut saya mengecap masakannya kurang matang.  Setelah beberapa suapan mendarat tanpa masalah, ia pun terlihat kembali bekerja.

Porsi yang saya pesan ternyata lumayan banyak. Butuh waktu untuk menghabiskannya. Dagingnya lebih besar dan tebal. Saya menyiram kuah mushroom di atasnya. Irisan jagungnya terasa manis dan porsi french fries-nya cukup mengenyangkan. 

Saya sedikit menyesal juga memesan french fries, kenapa bukan mashed potato saja, ya? Yah, tadi saya tidak begitu mendengar apa saja yang staf katakan. Yang saya dengar cuma french fries doang!

Suasana siang itu tidak begitu ramai, tapi ada beberapa orang yang sedang menamatkan makan siang di sana. Tempatnya lumayan nyaman, suasana dan makanannya membuat saya merasa menjadi Ji Eun Tak yang tengah makan di salah satu restoran steak di Kanada. Bedanya, tak ada Goblin yang menemani sekaligus membayar makanan saya. Ya, hidup memang tak seindah drama Korea!

Hai, saya Ire. Bagi saya hidup adalah lifelong learning, pembelajaran yang tiada akhir. Melalui blog ini mari sama-sama belajar sembari sesekali bercerita mengenai kisah perjalanan hidup yang sudah saya lewati :)

Comments