Skip to main content

Mengendus Buku Jurnalisme di Luar Algoritma


Ada yang berubah dari wajah jurnalisme kita. Masyarakat di era ini membutuhkan kecepatan, berita harus diramu secara cepat kalau tidak mau ketinggalan. Tak dipungkiri wartawan kalah adu cepat dengan warga yang berada di tempat. 

Soal kode etik mungkin mereka tak paham tapi kecepatan tentu tak diragukan. Siapa peduli dengan kode etik di jaman ini? Publik lebih menikmati video kejadian yang diambil para amatir dengan dalih originalitas.

Soal akurasi tentu media juara, tapi kecepatan bisa jadi sebaliknya. 

Sebenarnya hal seperti ini sudah bisa terendus dari belasan tahun lalu, saat di mana kemampuan handphone semakin diupgrade dan internet semakin dekat dengan masyarakat. Jurnalisme warga kala itu disambut sukacita sebelum pada akhirnya membuat tatanan dunia digital semakin chaos.

Roma perubahan ini tentunya terendus media sedari lama, namun beda hal soal tanggapan. Ada yang bergerak cepat dan berupaya menyesuaikan diri tapi ada juga yang perlu lebih dulu mengkaji. Di luar cepat atau lambat, perombakan harus dilakukan. 

Akhirnya, media berbondong-bondong beralih ke daring. Mulai belajar menyesuaikan diri dan saling berebut perhatian pembaca. Berbagai teknik rayuan dilakukan, berbagai aturan ditaati.

Jurnalisme saat ini lebih berpihak kepada SEO. Siapa yang muncul paling atas di mesin pencari adalah pemenangnya, siapa yang bisa meraup klik dan views adalah juaranya tanpa sadar bahwa kecepatan dan keakuratan saling bergesekan.

Tapi mau bagaimana? Masyarakat mulai terbiasa dengan pola berita yang sekarang meski beberapa dari mereka diam-diam merindukan “Jurnalisme di Luar Algoritma”. 

Buku ini tidak berisi pembahasan mengenai jurnalisme algoritma vs yang bukan. Buku ini berisi kumpulan karya jurnalistik dari pengalaman wartawan senior sekaligus pemimpin redaksi Majalah Tempo, Arif Zulkifli.

Sebuah buku yang bisa melepas dahaga, kerinduan akan jurnalisme yang melibatkan olah rasa. Karya -karya di dalamnya tidak akan kamu temui di mesin ChatGpt atau malah di bagian teratas mesin pencari.

Karya-karya ini lahir dari  perjalanan dan pengalaman yang tak bisa dilakukan hanya dengan berselancar di dunia maya. Arif tak hanya menorehkan apa yang dia lihat tapi juga apa yang ia rasakan. Ia menggunakan kelima panca inderanya untuk mencerna keadaan, meramu lalu menuliskannya. 

Sesuatu yang hanya bisa dilakukan manusia dan tak akan pernah didapatkan dari sebuah mesin. Bagi saya pribadi ini sebuah keunggulan, satu-satunya kemenangan yang masih dimiliki bangsa kita (manusia). 

Tapi bukan berarti karya-karyanya berisi drama romansa, banyak materi dan kedalaman di sana. Arif mengajak setiap pembaca untuk turut serta berada di situasi yang ia ceritakan.

“Lelaki itu merapatkan mantelnya. Ia berdiri di pintu balkon menghadap ke luar apartemen. Angin dingin musim semi berembus. Lima derajat Celcius. Kering, menusuk seperti jarum. Di luar laut Malaren yang menggenangi kota Stockholm berpendar-pendar. Di atasnya, sebuah bukit berwarna cokelat menyembul dari permukaan air. Udara cerah. Awan meneriaki biru langit.” 

Itulah kalimat pembuka dalam tulisan berjudul, “Dua Jam Bersama Hasan Tiro.”  Sebuah reportase ke Swedia untuk bertemu sang pendiri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ia buat tahun 2000 lalu.

Tak hanya mengenal lebih jauh sosok Hasan Tiro, pembaca bahkan diajak untuk mengimajinasikan detail tempat tinggal serta gambaran kehidupan dari sosok legenda GAM tersebut. 

“Saya diterima Hasan Tiro dengan tangan terbuka. Di sebuah apartemen pinggiran kota itulah kami bertemu. Apartemen itu tidak terlalu luas, sekitar 100 meter persegi. Di ruang tengah apartemen itu terletak seperangkat sofa berwarna kuning yang berhadapan dengan meja kerja Tiro yang besar.” 

“Ia mengenakan  setelan berwarna biru. Tubuhnya yang tak besar dengan tinggi sekitar 160 sentimeter, dibalut mantel biru tua. Dibandingkan dengan fotonya pada 1980-an yang banyak beredar, ia kelihatan lebih kurus.”

Lebih dari sekadar berita -berita yang pernah beredar tentang GAM, tulisan Arif memberi kesempatan pembaca untuk menelusuri jalan berpikir Hasan Tiro melalui pengamatan dari hal-hal kecil  yang melekat di kehidupannya.

Tak hanya Swedia dan Hasan Tiro, Arif juga mengajak berkelana lintas kota dan negara. Aceh, Manila, Papua, Hubei, Beijing, Frankfurt, Berlin, Praha, Jakarta, Cambridge, Wales, Sanfransisco hingga Maluku dan segala problematika di dalamnya.

Berbagai cerita terkumpul dari tempat-tempat itu. Mulai dari bertemu Rhicard Booth sang legenda sekaligus pendiri kota buku dunia, Hay on Wye. Mengarungi sungai terpanjang ketiga di dunia, Yangtze dengan kapal berbobot 4576 ton yang bernama Victoria Lianna hingga bertemu dengan bermacam kehidupan para eksil di Jerman.

Masih banyak! Saya tak bisa membocorkan semuanya. Yang jelas perjalanan Arif Zulkifli panjang dan jauh sebagai wartawan. Ia tak sedang membuat berita hard news dengan pola 5W1H, tapi sebuah laporan mendalam dalam balutan jurnalisme sastrawi.

Ada banyak karya jurnalisme sastrawi tapi cara penyampaian di buku ini cukup renyah. Soal akurasi saya tak ingin meragukan kualitas wartawan Tempo apalagi itu seorang Arif Zulkifli. 

Di tengah banjiran berita SEO yang semakin marak, saya merasa buku ini cukup membuat pembaca mengingat dirinya sebagai manusia dengan keragamannya. 

Yah, sejauh ini saya (pribadi) seolah dipaksa berpikir dan bertutur layaknya bahasa mesin. Berbagai karya pun kini dikeluarkan oleh mesin; lagu, musik, desain bahkan tulisan. Saya  mulai merindukan manusia dengan karya-karya buatannya yang kadangkala beserta kecerobohannya. 

Tentu saja karya-karya seperti ini harus banyak-banyak dibukukan sebelum ditelan pergantian jaman. Di luar itu saya masih banyak berharap hasil-hasil reportase semacam ini semain banyak dan bermunculan kembali. 

Yah, meski semua itu butuh kesabaran, perhatian masyarkat kita saat ini memang sedang teralihkan. Memang banyak yang saya semogakan, salah satunya berharap laporan jurnalisme seperti  ini tidak menjadi senjakala, indah sih indah tapi hanya bisa dirindukan.

Hai, saya Ire. Bagi saya hidup adalah lifelong learning, pembelajaran yang tiada akhir. Melalui blog ini mari sama-sama belajar sembari sesekali bercerita mengenai kisah perjalanan hidup yang sudah saya lewati :)

Comments

  1. Wahh boleh juga nih buku Jurnalisme di Luar Algoritma ini buat memperlengkap buku soal jurnalistikku. Tampaknya menarik untuk dibaca dan ditelaah lebih lanjut.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Di jamin nggak kecewa Mbak, bagiku buku ini salah satu masterpiece di antara deretan koleksiku yang lain :)

      Delete
  2. Iya ya, aku juga ngerasa artikel sekarang kayak dibikin dikejar-kejar SEO, siapa yang paling ada di page one, siapa yang klik n view paling banyak. Tapi namanya tuntutan perubahan teknologi ya, mau gimana lagi. Jadi penasaran pengen baca bukunya tuntas

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ia Kak, tapi kecepatan dan ketepatan seringkali bersinggungan. Terkadang kita butuh melambat sejenak untuk memahami situasi, untuk melihat suatu pokok permasalahan lebih komprehensif. Saya sangat menyarankan untuk membaca buku ini (seriusan) :)

      Delete
  3. Suka juga sama buku ini, sampai waktu itu datang ke acara bedah bukunya di Perpusnas. Di sana dijelaskan juga soal latar belakang pembuatan buku ini. Jadi ingat, belum menulis soal bedah buku dan ulasan bukunya sendiri.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, saya juga datang Kak pas itu, berarti kita ada di satu area cuma belum saling mengenal aja :) Pas itu aku nyesel nggak beli bukunya langsung, memang harganya rada lumayan tapi bener-bener worth it, aku suka banget isinya.

      Delete
  4. Yupz, yang tidak pernah bisa dilampaui oleh mesin dari manusia sampai kapanpun adalah emosi. Karya yang ditulis dengan melibatkan hati dan pancaindera manusia, akan sampai ke hati penikmatnya pula.

    Aku bookmark dulu buku ini. Penasaran juga, investigasi wartawan tapi dipaparkan dengan sangat sastrawi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul Kak, karya jurnalistik yang sudah mulai jarang kita temui di jaman ini, semakin lama semakin punah. Aku seneng sih Mas Arif mau membukukan tulisan-tulisannya. Aku berharap wartwan Tempo yang lain mengikuti jejaknya :)

      Delete
  5. Kalau dulu, membaca berita atau reportase semacam itu seolah kita diajak membayangkan keadaan sebenarnya di lokasi ya kak. Sekarang terkadang berita hanya menarik di judulnya saja, ternyata ketika artikel dibaca lebih lanjut, isinya jauh berbeda dengan yg kita pikirkan

    ReplyDelete
  6. aku sendiri merasa pola berita kali ini memang berbeda dengan tahun 90an, saat semua orang belum mengenal telepon genggam dan internet.
    Bahkan video amatir lebih banyak viewnya dari berita, dan kecepatan warga lokal di lokasi memang lebih sat set.
    sekarang upload kejadian di depan mata, di sosial media aja, udah bisa viral kemana-mana beritanya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ia padahal video amatir acapkali tidak disertai keterangan yang jelas dan membantu penonton, walhasil banyak terjadi hoax, banyak miss informasi juga. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi para jurnalis dan media yang masih memegang teguh kualitas isi beritanya.

      Delete
  7. Berita zaman sekarang VS zaman dulu sangat berbeda sekali yaa..
    Kontras dan mungkin ini termasuk penyesuaian zaman. Dengan membaca buku Jurnalisme di Luar Algoritma yang merupakan penuturan langsung dari sang penulis, bisa menjadi kajian yang bagus bagi pembaca untuk membagikan kebaikan dalam setiap konten yang diunggah. Bukan hanya stereotype "Asal FYP atau viral".

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul Kak, sebenarnya jurnalistik sudah punya standar dan kaidah yang harus dituruti tapi saat ini banyak media terjebak asal viral demi tuntutan views. Memang serba salah sih, disatu sisi mereka butuh idealisme di sisi lain, kebutuhan perut menanti.

      Delete
  8. Aku kalo nulis buat fun karena blm paham namanya SEO kalo buat video reels atau TikTok paham banget jadi pengen belajar deh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Berawal dari fun Kak, kita sama-sama masih belajar, aku pun demikian :)

      Delete
  9. Menarik sekali bukunya. Cara bertutur penulis lewat kata-kata bener-bener ngajak pembacanya juga seperti berada di kejadian itu ya. Deskriptif banget... Nah, aku dulu kuliah juga di Jurnalistik. Dan memang ilmu ini berkembang banget, apalagi sekarang. Tapi ada hal yg diajarkan dulu soal etika jurnalisme yang bisa jadi pegangan buatku. Masalah etika ini yang sekarang sering terlupakan...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah menarik itu Kak, mungkin kapan-kapan bisa kaka tuliskan untuk menambah khasanah literasi jurnalistik di ngeri ini, terutama soal etika jurnalistik. Saya daftar duluan, mau mengantri untuk membacanya nih :)

      Delete

Post a Comment