150815 |
20 hari yang lalu, tepatnya sabtu, 15 Agustus 2015, menambah
panjang daftar tanggal penting yang harus saya hafal dalam hidup saya. Bergeser
kurang lebih setengah jam dari jadwal awal yaitu pukul 9 pagi, saya menikahi
seseorang yang setahun terakhir ini hampir tak pernah absen menggelayuti kepala saya. Mungkin anda paham betul yang mana orangnya -setelah beberapa kali
saya kerap menyiratkan sosoknya ke dalam beberapa tulisan yang saya buat. Atau justru anda
salah seorang karibnya? Itu semua tidaklah penting melebihi pentingnya status baru saya
sebagai ‘istri’? *smile*
Beberapa kali, ia -lelaki yang sudah saya nikahi- memanggil dengan istilah ‘istriku’, dan beberapa kali itu pulalah saya merasa aneh. Satu kata itu rupanya
cukup menghadirkan sensasi canggung dan
ragu. Apa benar saya seorang ‘istri’? Bahkan terkadang saya menjadi kerap
mengulang-ulang kata tersebut dan menjadikannya hambar makna. Pernahkah anda
merasa bahwa beberapa kata yang dieksploitasi kegunaannya secara berulang-ulang
akan menyamarkan makna dari kata itu sendiri? Itulah yang saya rasakan. Sekali
saya berpikir kata ’istri’ masih menghasilkan makna yaitu seorang wanita milik
lelaki yang bernama suami. Makin ke sana tiba-tiba saya kehilangan makna dari kata
istri. Apa itu istri? Makanan apa
itu? apakah itu semacam provider internet? Ataukah sebutan lain untuk es teh? –Dari hal tersebut saya simpulkan, janganlah suka mengulang-ulang
kata jika tak mau kehilangan maknanya!
Dan, mengenai lelaki yang saya nikahi itu. Ngomong-ngomong, saya lebih suka berkata ‘menikahi’ ketimbang ‘dinikahi’. ‘Menikahi’ lebih
terasa aktif dan berkesan sungguh-sungguh ( atas kehendak pribadi), sedang ‘dinikahi’ lebih terkesan pasif
dan banyak kata ‘jangan-jangan’ yang berada di belakangnya. Jangan-jangan mau
karena terpaksa atau jangan-jangan cuma pura-pura, atau jangan-jangan jangan-jangan
yang lain. Bila si lelaki yang saya nikahi itu juga memilih kata
menikahi, maka biarlah kami saling menikahi dan tak ada yang dinikahi.
Lalu lupakan soal istilah!
Lelaki itu, sebelum saya nikahi, terlihat unyu dan lucu. Petimbangan utamanya tentulah dari pola pikir. Namun setelah
menikah, saya jadi tahu bahwa dia tidak lucu tapi lucuuuuuuuu sekali. Bahkan saya tak tahu
bagaimana cara mengungkapkan kelucuan yang berlebihan selain menambahkan huruf ‘u’
di bagian belakang. Saking lucunya, sampai bisa membuat
saya cekikikan sepanjang hari, pagi – siang- sore - malam hingga dini hari lagi.
Kalau kata dia, sayalah yang lucu. Tapi dari kacamata saya, dialah yang lucu. Oke, sekalipun saya melucu tentulah karena objek (baca: dia) siap
menerima kelucuan, bukan?
Dan hentikan soal lucu-lucuan dan kembali ke soal pernikahan.
Menikah itu bukan perkara mudah, Teman. Mau bikin
kata-kata saja harus ditimbang-timbang dulu, apakah ini tergolong pembeberan
dapur perusahaan? Semacam kehidupan pribadi yang tak selayaknya dipublikasi
ataukah masih dalam ranah ‘aman’. Menikah juga tak semudah dolan-dolan layaknya jaman masih perawan, setiap langkah dari kaki
ini, ada ijin dan pertanggung-jawaban.
Tapi menikah itu indah, Teman. Bila kau niati sebagai
ibadah.*smile lagi*
Sebelum tanggal yang saya sebutkan di awal tadi, banyak orang
memberi nasihat A, B, C dst dengan cerita yang kebanyakan justru menimbulkan keraguan
dan ketakutan untuk menghadapi pernikahan. Mulai dari premarried
syndrom sampai kesulitan-kesulitan yang siap menghadang di kemudian hari.
Kabar baiknya, saya -dan lelaki yang saya nikahi itu- cukup mengingat bahwa tidak
ada peristiwa besar seperti bom Hiroshima dan Nagasaki yang berhasil menggoyakan
hubungan kami. Kami rukun-rukun saja, serukun para warga dan tetangga.
Kadang saya sendiri menghujaninya dengan berbagai pertanyaan seperti ;
Kadang saya sendiri menghujaninya dengan berbagai pertanyaan seperti ;
“Mas, sudah kena
PMS belum?”, “Mas ndak marah karena apa gitu?”, “Mbok marah to, Mas!”, “Mas, kita
kok nggak pernah marahan ya!?” dan aneka rupa bentuk kalimat tanya paranoid yang lain.
Saya dihantui takut, kalau-kalau hubungan kami tidak normal. Saking takutnya, sampai-sampai saya
sering maksa dia marah, minta pura-pura marahan atau apa saja yang berkemungkinan menimbulkan gejolak dalam suatu hubungan. Untung diuntung, itu semua tak pernah benar-benar ia lakukan. Ia menanggapi dengan santai dan mungkin sedikit mikir “ini calon
istriku stress kali, ya?!”
Rupanya selain lucu dia juga kelebihan bijak. Misal bijak
itu digambarkan seperti pop ice
dalam gelas, berarti isinya sudah
meluber ke mana-mana, saking bijaknya. Kalau sabar tak perlu dinyatakan, karena
orang yang tahan bersama saya selama 1 bulan itu sudah bisa dikategorikan
sebagai orang sabar.
Apabila malaikat bertanya mengapa saya mau menikahinya? Maka
akan saya jawab, “Mal, Tuhan yang menakdirkan saya dengan dia.” Itu jawaban
mudah, anak SMA pun bisa.
“Tapi Mal, bila kau tanya, mengapa saya tidak berontak
ketika Tuhan menetapkan saya harus menikah dengan dia, maka akan kujawab, karena
semua itu sudah kehendak Tuhan.” Ah, nggak asik!Lagi-lagi jawaban yang aman-aman saja!
Baiklah, mungkin saya bisa sedikit menetralisir
kekecewaan malaikat dengan pernyataan begini, saya merasa bersyukur dengan apa yang
telah Tuhan pilih untuk saya. Dan ketika itu terjadi, saya melihat banyak
kelebihan yang dimiliki pasangan saya dan karenanya saya merasa nyaman dan bahagia.
Dari itu saya belajar mengerti bahwa untuk
merasa nyaman, diperlukan rasa syukur, dan awal dari semua itu adalah
penerimaan, keikhlasan. Di luar itu semua, pertama kali
saya memutuskan untuk mau menikah dengan lelaki itu adalah karena saya tahu benar bahwa dia sempurna
untuk saya dan saya yakin dia bisa menyempurnakan saya dengan caranya.
Waktu berjalan sampai dengan detik tengah malam ini dan
saya merasa aman-aman saja. Entah yang dikatakan orang-orang tentang cobaan itu benar atau tidak, atau mungkin belum waktunya cobaan kami datang, yang jelas saya mengerti satu hal, menakuti
sesuatu yang belum terjadi adalah suatu kesia-siaan. Itu yang dinamakan membuang-buang waktu.
Bisa jadi semua akan baik-baik saja sampai akhir, atau bisa jadi juga malapetaka benar hadir di hari kemudian. Apapun itu, yang sebaiknya saya tekankan pada
diri saya adalah sesuatu yang harusnya terjadi pasti akan terjadi, jadi lebih
baik menghadapi dari pada menakuti. Setidaknya aura positif thinking akan membantu meringankan ketimbang perasaan takut
dan was-was yang cenderung mengeruhkan keadaan.
Mungkin cobaan itu sudah menanti. Bisa jadi ia keluar
besok dini hari pukul 5 pagi atau lusa nanti atau 10 tahun lagi. Apapun itu, sejauh
saya bersama lelaki itu, saya merasa cukup kuat untuk menghadapi. Selebihnya, saya
merasa sudah melampaui satu tahap besar dalam hidup saya dengan memilih orang
yang tepat.
Dia sempurna untuk saya. Bukan berarti tak ada secuil pun kekurangan, hanya saja saya lebih memilih untuk mengabaikan.
Terima kasih untuk cerita hari ini. Itung-itung mempertemukan kembali jemari dengan tuts keyboard. Anggaplah ini sebagai setitik rasa bahagia yang ingin saya
bagi. Terima kasih untuk teman-teman yang kemarin hadir di acara kecil kami. Terima kasih atas doa, dukungan dan kenangan yang tak akan bisa kami ganti. Tak ada kesyahduan melebihi doa ikhlas untuk seseorang. Sekali lagi, beribu kali lagi, terima kasih.
Comments
Post a Comment