Lorong itu penuh orang namun lengang. Semua orang berkostum
sama, hem putih dengan celana hitam, rok hitam, dasi hitam, dan sepatu hitam.
Masing-masing dari mereka sibuk dengan diri sendiri, membuka-buka berkas,
menelusuri halaman demi halaman, memejamkan mata berdoa atau sedang mondar-mandir
tanpa bersuara.
Di sebuah sudut seorang pemuda berjongkok dengan sebuah
foto di tangan. Serius, pemuda itu tenggelam kepada sosok wanita yang ada di foto.
Dia sedang gelisah, sama seperti beberapa pemuda lain yang juga sibuk dengan diri
sendiri. Dia mencoba mencari ketenangan dengan interaksi tanpa suara dengan foto
itu. Perlahan dia membaliknya, jemarinya lihai menelusuri huruf demi huruf yang
tersusun. Rasa tegang dan buncahan semangat telah membakar si pemuda. Selama 2
menit dia kembali membayangkan kebersamaanya dengan si wanita. Hanya 2 menit,
dan itu cukup untuk membakar api semangatnya.
“Kreeek...,” suara pintu terbuka. Sosok pemuda dengan kostum
sepadan keluar dari ruangan. Semua mata tertuju pada pemuda itu. Pemuda
tersebut hanya diam, menarik nafas lalu mengarahkan pandang ke sekeliling,
menatap balik orang-orang yang tengah menatapnya. Perlahan seburit senyum
terlukis di wajah si pemuda, “Yes, berhasil!” sontak semua orang yang tegang
berubah mimik gembira,memeluk, berucap selamat kepada si pemuda.
Selama 2 menit mereka mulai melerai masing-masing diri,
si pemuda memanggil pemuda lain yang sedari tadi memegangi foto, “Juna, giliran
kamu sekarang,” ucapnya seraya memanggutkan kepala. Juna memandang foto sekali lagi, baru
kemudian mantap untuk memasukkannya ke dalam saku kemeja, dan memasuki ruangan.
Di dalam ruangan, Juna berdiri di hadapan 3 orang
intelektual yang kesemuanya tengah
menatap tajam dan siap membabat habis. mereka menunggu Juna mengeluarkan kata-kata.
Juna memantapkan hati yakin baru kemudian mengeluarkan suara.
“Selamat Pagi, saya Arjuna Wicaksana pada hari ini ingin
mempresentasikan hasil akhir Tugas saya sebagai mahasiswa jurusan Ilmu
Pemasaran yang berjudul “Analisis Experential Marketing terhadap loyalitas
pelanggan pada.........”
Sudah setengah jam Juna bertarung mati matian,
menggerakkan mental dan melibas seluruh sanggahan dari penguji. Sesekali sebuah
pertanyaan melayang tanpa pandang bulu mematikan naluri logikanya, menggoyahkan
benteng pengetahuan yang sudah ia susun.
Bila sedang di titik rendah, Juna akan memberi dirinya jeda sejenak, 2
menit untuk mengingat Lilia, dan itu cukup untuk kembali menggerakkan otaknya
yang mulai dibekukan oleh sanggahan si penguji.
Akhirnya pintu ruang panas itu pun terbuka. Juna keluar,
kali ini dia langsung sumringah, tersenyum. Tanpa ragu dan bertanya semua
teman-temannya memeluknya mengucapkan selamat. Juna tidak bisa berlama-lama
dalam euforia itu, dia berlari meninggalkan teman-temannya. Dia tak peduli
dengan orang-orang yang dilaluinya menatap aneh. Dia sedang tergesa-gesa. Dia
berlari menuju stasiun masih dengan kostum ujiannya.
Di stasiun, dia menatap cepat ke arah sekitar, mencari sesosok
wanita bernama Lilia. Dia berlari ke arah kanan namun tidak ditemukannya, dia
berbalik ke kiri tapi, nihil. Nafasnya masih memburu, pandangannya tak berhenti
mencari hingga sebuah suara dari belakang menghentikannya.
“Juna.....” panggil wanita itu lirih. Juna berbalik, dan
menemukan sosok wanita yang selama ini hanya bisa dia pandangi lewat foto.
Seorang wanita yang hadir di setiap detik dalam hidupnya, wanita yang selalu
membangkitkannya dalam setiap keterpurukan, wanita yang menjadi semangatnya dikala
menyerah.
2 menit mereka saling pandang dan terdiam, memendam
sebuah buncahan rasa yang selama 2 menit masih bisa mereka kendalikan.
Juna tak kuasa menahan haru, dengan terburu dipeluknya
Lilia dengan erat, seerat–eratnya seolah dia ingin memberi pelajaran kepada
wanita itu betapa setahun mereka terpisah seperti seratus tahun bagi Juna, dia
ingin membalas dendam dengan pelukan eratnya dan membuktikan betapa Lilia telah
kejam memingit dirinya selama setahun demi skripsi. Dan pelukan Juna semakin
erat, dia masih ingin membalaskan dendamnya karena selama setahun mereka tak
boleh bersua.
Lilia menyadari keharuan yang Juna bangun, Lilia
merasakan buncahan rasa yang telah Juna transformasikan untuknya. Mereka
menangis menahan haru satu sama lain, kali ini 2 menit rasanya tidak cukup
untuk menggantikan kehadiran Lilia selama setahun. Juna membiarkan 2 menit itu
berlalu semakin jauh, dan jauh.
Dalam euforia pelukan, dia melirik dan membalik foto di
tangannya,
“Setahun lagi , aku
tunggu kamu di stasiun, dan ingat, harus bawa skripsi utuh J –Lilia-“.
Juna tersenyum setelah membacanya untuk kesekian ribu
kali,
“Thanks ya...thanks buat supportnya...” Juna berbisik lirih
di telinga Lilia. Lilia mengangguk haru dalam pelukan.
[Note : Flash fiction 2 Menit adalah Flash Fiction pertama saya tanpa latihan dan pernah diikutsertakan dalam sayembara Flash Fiction dengan tema 'Rindu Tanpa Kata Rindu' tahun 2013 dan kalah (cuma masuk 40 besar). Kala itu belum paham betul apa itu FF dan apa saja unsur-unsur dasarnya :p ]
Baru tau ada jenis fiksi yang namanya Flash Fiction.
ReplyDeleteMasih harus belajar lagi nih :)
Bagus kok ceritanya
Thanks Ron :)
ReplyDeleteFlash Fiction lebih pendek dari cerpen dan identik dengan kejutan di ujung cerita, dan cerita di atas ujungnya kurang nuik.
Menarik fiksinya... terus berkarya :) thanks buat fiksinya
ReplyDeleteSalam kenal penulis ulung