Curhat dulu yuk! Secara sekarang ini saya sudah tidak dekat dengan
teman-teman, punya dunia sendiri, punya aktivitas independent dan bukan team jadi saya butuh tempat curhat. Beda cerita
ketika saya masih kerja di sana itu, tiap ada masalah buka windows, buka net send
ketik alamat, lalu chating deh sama rekan-rekan
kerja. Curhat pekerjaan, curhat gebetan, dan masalah-masalah lain. Bahkan kalau
urgent sekali masalahnya kita tak
segan-segan menelfon satu sama lain lewat telfon kantor. Sekarang canggung
gitu, walaupun sebenarnya masih bisa pakai whatsup,
line, tapi banyak pikiran paranoid, jangan-jangan saya mengganggu,
jangan-jangan dia lagi overload, atau
jangan-jangan...jangan-jangan...dan jangan deh,
mending cari alternatif lain,wee..!
Bagaimana ya Mbak, mas, tante, teteh, siapapun yang baca ini, ternyata
hidup itu tidak mudah. Terutama dalam hal mengatasi paranoid yang sering muncul
dalam pikiran kita sendiri. Sebenarnya sih saya tidak ngenes-ngenes amat keadaanya.
Dan saya tau persis akan mengalami sebuah dilema pergulatan jiwa seperti
ini, saya masih tahan. Cuma, saya takut ini kondisi tubuh tidak bisa diajak
kompromi lagi.
Jadi saya ini tengah berupaya mencari jati diri tulisan saya. Awal ketika
saya memutuskan untuk menggandrungi tulisan secara lebih dalam ketika itu saya
merasa makhluk tuhan paling yakin. Bisa dibayangkan dari sekian ribu orang yang
bekerja lempeng-lempeng saja, atau
hanya berstatus karyawan-karyawati suatu perusahaan tertentu, saya memiliki
cita-cita yang bagi saya mulia yaitu menjadi seorang penulis. Cita-cita yang
seperti itu di daerah sini masih jarang, yang ada dulu sewaktu saya masih SD
(Sekolah Dasar) bila ditanya soal cita-cita, kebanyakan jawaban dari
teman-teman adalah dokter, polisi, presiden, tentara, guru, ya seputar itu itu
saja. Seolah-olah cita-cita itu hanya itu saja, dan anehnya kenapa dulu tidak
ada guru yang mengarahkan murid-muridnya bahwa cita-cita itu banyak, bukan
sebatas presiden, polisi guru, pilot dan dokter,hm.
Coba dulu saya diajar untuk mengenal penyair-penyair terkenal sedari SD,
atau wartawan, atau librarian, traveler, motivator,pengamat musik, sejarahwan,
editor, dan diiming-imingi kisah-kisah inspiratif yang berkaitan dengan
cita-cita tersebut, pasti harapan itu sudah membuncah sedari ketika saya masih
SD. Sayang dulu cita-cita yang diterima hanya itu-itu saja, tidak ada
pengarahan dan pada akhirnya juga tidak satu cita-citapun teraih di kelas kami.
Sampai-sampai suatu reuni saya pernah bilang, “kenapa ya dulu waktu ditanya
cita-cita kita menjawab menjadi pilot, presiden, dokter, arsitek, menteri,
padahal itu profesi mahal, kenapa dulu tidak ada yang berani melihat kenyataan ‘saya
mau jadi karyawan pabrik Pak’, begitu kan jujur,” kata saya.
Yang salah dari sistem pendidikan Indonesia adalah, kita pandai sekali
menerapkan teknis-teknis dan penyampaian ilmu pengetahuan tanpa di barengi
dengan pemberian jiwa serta nafas untuk ilmu yang didapat. Walhasil, ilmu-ilmu
yang diserap murid-murid berjenis ilmu mentah dan hafalan. Banyak hal yang
perlu disyukuri dari masa lalu sekolah saya, tapi banyak juga yang saya sesali.
Seperti, kenapa saya harus bersekolah lama-lama dan mempelajari atom-atom atau
partikel-partikel benda toh sekarang saya tidak pernah menggunakannya. Dan lagi,
mengapa saya tidak dibelajari menulis, memberi nafas dalam tulisan sedari saya
SD? Konsen pada hal itu selama berpuluh tahun, mungkin saya sudah mahir
memainkan kata sekarang. Tapi apa boleh buat, yang terjadi tidak bisa diulang
lagi, yang bisa adalah secara perlahan saya berusaha memperbaiki.
Tapi saudara-saudara, ternyata punya cita-cita menjadi penulis bukan akhir
dari petualangan dan menang atas keadaan yang monoton. Jadi setelah saya
memasuki dunia literasi ternyata saya telah masuk ke dunia baru yang masih
luas. Bisa dibayangkan dunia saya dulu dari sekian ribu profesi saya berhasil
menaruh hati pada dunia literasi, setelah memilih dan memasukinya ternyata di
dalamnya masih ada dunia lagi yang masih luas. Jadi sekarang saya bingung, ada
banyak pilihan di hadapan saya. Mau menulis berita, sastra, novel, artikel
ilmiah atau yang apa yang mana? Misal saya pilih satu novel, ternyata masih di
bagi lagi, novel imaginasi atau novel pengalaman, novel dewasa atau teenlit,
novel sastra atau metro pop. Ternyata penulis itu berkategori-kategori, ada
yang menceritakan pengalaman contoh halnya The Naked Traveler, jadi materi
sudah dia alami dan tinggal di olah, atau novel imajinasi seperti halnya Madre
karyanya Dee. Ada juga yang bersifat pengetahuan seperti cara-cara membuat
blog, memainkan excel dan trik-trik tertentu. Belum lagi buku atau novel yang
disesuaikan kategori pembaca dan target khusus pembaca seperti buku-buku agama.
Jadi yang awalnya saya mengira setelah ini akan berkonsentarsi pada
literasi setelah menyingkirkan dunia marketing, pengajaran, dan
enterpreneurship, ternyata masih dibingungkan oleh pencarian genre tulisan. Bagi
sebagian orang mungkin tidak perlu diperdebatkan, pasalnya setiap orang punya
kemampuan menulis masing-masing, ada yang lancar menulis cerpen, tapi ada juga
yang hanya bisa menulis puisi. Ada yang mampu menulis ilmiah, tapi ada juga
yang enjoy dengan novel imajinatif, lhah, masalahnya adalah, saya suka
semuanya, dan saya tidak tahu mana yang paling saya suka.
Sebenarnya paling enak menurut saya adalah travel writer. Dia holiday dan mencoba mencari sebuah sisi unik
dari suatu tempat dan keadaan dan tinggal menuangkannya dalam bentuk tulisan.
Buat saya itu mudah karena kita mengalami sendiri dan materi sudah tersedia,
tapi yang susah adalah traveling-nya
itu sendiri. Menjadi traveler itu
harus siap banting lho, menghadapi keadaan penuh resiko. Dulu sih saya merasa kuat dan cuek tapi setelah sekarang
benar-benar jadi wanita (lhoh emang dulu apa??) saya merasa menjadi wanita
imut, yang sedikit-sedikit paranoid, nanti kalau di jalan digodain cowok-cowok
bagaimana? Kalau diperkosa? Kalau dijambret? Aaaarrggghhhh....itu efek
perubahan wajah yang berangsur imut, haduh!
Dari segala keruwetan di atas, jadilah saya yang seperti ini. Bingung
terombang-ambing, menjajal segalam macam tulisan. Saya sempat kepikiran untuk
tetap masuk ke ranah politik tapi melalui sastra karena menurut saya efek
manfaatnya lebih besar kalau kita masuk ke ranah politik daripada hanya sekedar
menghibur remaja-remaja dengan cerita cinta, betul tidak?
Bila ada seseorang yang bisa membantu saya, menilai dan mengarahkan mana
jati diri tulisan saya itu sangat membantu, karna prediksi saya sendiri sering
keliru, pengennya ini ternyata mampu saya itu. saya itu terkadang perlu
disadarkan, di geplak biar sadar diri
karena sering kebablasan. Saya juga bukan orang yang tahu betul karakteristik
saya, aneh kan? Malahan lebih sering disadarkan oleh keadaaan dan orang
sekitar.
Contohnya saja, dulu waktu penjurusan semester akhir, saya ngebet masuk BI (Bisnis Internasional)
alesannya sederhana, anak BI terkenal pintar-pintar dan pasti jago bahasa
Inggris, dan untuk memasukinya butuh standar IPK yang tinggi, sebut saja BI
kelas favorite gitu. Eee...waktu pengumuman hasil ternyata saya masuk ke kelas
marketing, padahal bahasa Inggris saya memenuhi syarat dan IPK saya juga
tergolong tinggi. Tidak puas dengan hasil keputusan, langsung saya samperin sekretaris jurusan. Saya protes,
saya berbicara tanpa henti. Bu Sekretaris hanya mengecek hasil nilai-nilai saya
dan menjawab dengan simple,
“Kamu mau tahu kenapa kamu tidak masuk BI dan malah masuk marketing?” tanyanya.
“Iya Bu, kenapa?” balas saya penasaran.
“Bahasa Inggris dan IPK kamu emang memenuhi syarat tapi lihat, semua mata
pelajaran marketing kamu tinggi semua, kamu itu cocok dan pandai di marketing,
bukan BI. Nilai matkul BI yang lain rendah, sadar tidak kamu, ini coba kamu ke
sini tengok sendiri!” kata beliau tegas.
Penasaran saya pun mendekat dan mengamati hasil nilai saya, duh bego-nya saya! Selama ini saya tidak
sadar kalau bakat saya itu di marketing, bukan BI. Saya hanya silau status
gegara BI adalah favorite semua orang, dan mengesampingkan potensi saya
sebenarnya, duh mas!
Nah, saya tidak mau hal itu terulang kembali. Saya tidak mau mengejar
sesuatu secara subjektif, atau keinginan egois semata tanpa memperhitungkan
kemampuan saya sesungguhnya. Hm..menjadi diri sendiri itu perlu, tapi yang
paling penting adalah menggali kemampuan diri sendiri dengan cara lebih dulu
mengenali diri sendiri secara lebih jeli, itu! nah itu, itu yang belum saya
temukan, anybody can helps?
Comments
Post a Comment