Mendengar dan
mentransformasikan “Dimensi dalam Dimensi” ibarat
membuka kotak harta karun kehidupan yang sejauh ini berhasil saya simpan
rapat-rapat. Apa yang bisa saya tulis
untuk “Dimensi dalam Dimensi”? mungkin sebuah pengejawantahan rasa melalui para “Perempuan Perempuan Redaksi” ini.
Tema ini
bukan privatisasi bukan pula egoistis.
Hanyalah sekedar pilihan! Ini bukanlah penggusuran aktivasi dan skill
kaum lelaki. Bukanlah pula diskriminasi. Banyak juga kok
lelaki hebat diredaksi, sebagai contoh katakanlah, bang
Ershad Yanuar. Seseorang yang saya kenal sebagai satu
satunya wartawan Dimensi yang mengalirkan kata
melalui darahnya. Entah mengapa unsur
jurnalistik sangat kental terasa dalam setiap tulisan yang beliau buat. Saya curiga jangan-jangan partikel dalam
tubuhnyapun terusun dari huruf dan kata. Hal itu
pula-lah yang membuat saya mengirim pesan
singkat untuk beliau (sekitar 2 atau 3 tahun lalu, saya lupa!
)
“Aku iri
dengan darahmu” . Kata saya.
Diapun
membalas “Aku
iri dengan semangatmu” balasan yang sempat membuat senyum saya mengembang.
Tapi tetap saja,
hingga hari ini,detik ini, saya masih iri dengan darahnya!
Diluar persoalan
darah mendarah, saya rasa beliau tak cukup piawai
menulis sastra. Bahkan hingga saat ini saya masih heran
mengapa
cerpen pertamanya lolos terbit di buletin DIMENSI. Kurang bagus! Itu menurut
saya (maaf Bang Ershad J). Tapi diluar itu semua, saya anggap Bang
Ershad sebagai seorang journalist, even you’re good journalist! (Diluar dari
pelik kontroversi majalah edisi 38 yang orang sebut sebagai majalahnya karna hampir seluruh artikel yang ada adalah karyanya, Saya tetap
menganggap beliau lebih elegan sebagai jurnalis independen atau katakalah
wartawan lepas).
Berbicara
mengenai majalah 38 yang bertema DJ’s life, setelah saya baca kembali ternyata
reportase yang disuguhkan kurang mendalam.
Bahasan yang ada tidak seperti tujuan awal mengapa tema tersebut
diangkat. Sebenarnya pada saat rapat
pembahasan tema majalah, saya sudah menyiapkan satu tema “Pasar Traditional VS
Modern” yang kalah dan kemudian malah diangkat menjadi tema tabloid. Banyak
pelik, problemtika dan polemik dalam majalah 38 yang menjadikanya
kontroversial. Terbitnya majalah kedua yang berjudul “ Polines In Nowhere”
bak penawar atas racun DJ’s life. Dari
mulai tema, artistic, picture, dan isian artikel di dalamnya
diselaraskan dan tak dilepas dari esensi pers mahasiswa.
Penerbitan
majalah pertama bagi sebuah angkatan mejadi kendala dimana diharuskan
beradaptasi pada structural baru. Pun
begitu yang terjadi pada majalah selanjutnya yang tak lain adalah angkatan
saya, & dadang dkk. Majalah 40 dengan tema “Pasang Surut Pendidikan” yang
setelah saya tilik kembali ternyata kabur dari frame tema itu sendiri. Bahasannya kurang tajam dan temanya amat
luas. Namun, kami sudah berupaya
maksimal kala itu, biarpun setelah 5 tahun berlalu bagian cacat itu begitu
terasa. Memang, menilik history
menjadi salah satu upaya perbaharuan hidup.
Mempersepsikan masa kini dalam persepsi masa yang akan datang. Itu
masukan tersendiri bagi saya!
Lalu dimana para
perempuan-perempuan redaksi? Mereka ada pada tahun dan bagiannya
masing-masing. Saya melihat para
perempuan redaksi lebih kepada kecintaan mereka akan dunia tulis menulis, bukan
akan posisi mereka secara struktural. Diakuikah? Tinggikah? Terkenalkah?
Atau mungkin disaluti oleh beberapa angkatankah? Bukan esensi tersebut yang
saya bangun dari tulisan ini. Tapi para
perempuan yang mencintai rangkaian huruf dan tak sengaja kutemui di negeri
Dimensi. Bagi saya ini soal tulisan, bukan keorganisasionalan.
Dimulai dengan teh
Agatha,
Lewat ini dan dengan
segala kerendahan hati saya meminta maaf kepada teh karna
kelancangan saya mengcopy ide pembuatan buku THIZISME. Yang benar terjadi adalah perkiraan sekitar 2
bulan setelah peluncuran THIZISME, saya menerbitkan
sebuah prosa liris berjudul It’s all
about you. Berbeda dengan THIZISME karya ini privat dan hanya dicetak 2. Maafkan saya teh..
peace!
Tapi isinya jelas berbeda hanya konsepnya saja yang
saya copy.
Diluar rasa
bersalah, saya mengenal beliau
sebagai satu–satunya perempuan redaksi yang mahir bermain feature. Paling tau bagaimana menyentuh hati lewat
kata dan bagaimana meniupkan roh dalam tulisan yang membuatnya seolah
bernafas. Satu bagian yang masih terasa
sulit untuk saya adalah mencapuradukan unsur kesederhanaan, kejujuran dan
keikhlasan dalam sebuah cerita, dan itu saya pelajari darinya. Semua karyanya lepas, independent,cenderung
ke sastra modern &prosa liris. Tak ada 5 W 1H layaknya sebuah berita, soft news/feature news,apalagi hardnews. Buat saya dia adalah salah
satu penulis independen, yang punya gaya tersendiri. Ada hal lagi
yang saya ingat. Kala itu sedang booming film “Merah
itu Cinta”yang
dibintangi oleh Marsha Timoty. Olehnya, ketenaran kata “Merah itu Cinta” ditampik secara halus,
sederhana namun rapih dengan sebuah cerpen berjudul “Hitam pun Cinta”. Cerpen tersebut menggeser posisi cerpen
Mitha yang sedari awal kami pastikan akan mengisi kolom sastra.
“Cerpenmu kalah sama punya mb Agatha, tha’ ...” kata Bang
Ershad kepada Mitha saat itu.
Masa’ sih! Pikir
saya pula tak percaya.
“ Iya deh re, bagusan punya Mb Agatha, coba
deh km
baca” Kata Mitha sendiri.
Langsung saya buka folder sastra dan kutemukan “Hitam pun Cinta”hmm.. begitu
sederhana, rapi namun dalam. Sampai–sampai saya harus menitihkan airmata. Begitulah teh
Atha, sangat pandai memainkan rasa. Saya
mengharapkannya menjadi novelis dan hingga saat ini saya masih
menunggu sebuah novel baru muncul dengan namanya sebagai
pengarang. Tapi kapan teh?
Dilanjutkan oleh
Mitha,
Seperti yang
tersebut sebelumnya,“Mitha” dengan nama komplit
Armitha Cahya RH adalah teman sekaligus partner seperjuangan
saya di Dimensi, bahkan jauh sebelum kami tau dan kenal
Dimensi kami telah mengenal satu sama lain. Dialah yang pandai bercerita melalui kata,
menciptakan kehidupan melalui cerita serta ulung memainkan
alur pula plot cerita.
Mitha kuat di story. Dia tau benar bagaimana membentuk percakapan
menjadi hidup dalam sebuah cerpen, tau bagaimana memunculkan konflik dan
bagaimana mengakhirinya dengan sempurna. Dia senang memasukkan dialog langsung dalam
sebuah cerita. Itu satu - satunya hal yang slalu saya
hindari karna saya tak piawai merangkai dialog langsung. Pikir saya lebih aman menghindarinya.
Satu yang masih
saya ingat sewaktu kami duduk di Bangku SMA. Saya tinggal bercerita mengenai
kisah saya kepadanya dan dalam jangka singkat
kurang dari 1 minggu, sebuah buku tulis full of my love story ada
dihadapan saya. Sejak itu saya berfikir
dia adalah seorang penulis cerita kiriman Tuhan (hehe). Berbicara mengenai
Mitha tak akan pernah ada habisnya. 9
tahun kami bersama melalui hari berbagai warna.
Dia satu satunya partner
reportasi yang entah berapa kali telah kami lalui bersama. Bahkan hampir dari seluruh hasil reportase
saya ditemani olehnya.
Sebagai ganti,
saya akan menemaninya menyelesaikan reportase.
Begitu cara kami menyelesaikan Job Dim’s . Tanggung jawab tetap kami
pegang sendiri tapi secara lapangan kami saling menemani. Saking seringnya kami
berburu berita bersama, kami punya beberapa pengalaman lucu dan unik yang akan selalu terkenang. Kejadian
unik yang sering kami alami adalah kaset rekaman habis atau recorder yang
berhenti merekam akibat baterai melemah saat wawancara tengah berlangsung. Padahal tak urung narasumber kami termasuk
orang – orang penting. Yang masih
kuingat tajam, kala itu tengah berlangsung wawancara bersama Prie GS salah
seorang budayawan sekaligus pimpred tabloid Cempaka dan penulis dengan salah satu buku terbitannya “Hidup itu keras, maka gebuglah”. Seingat saya
sebelum kami tiba dikantor tabloid Cempaka kami sudah mengecheck secara
menyeluruh berbagai piranti yang akan kami gunakan. Bahkan saat kami menunggu
Redaksi Cempaka selesai meeting saya cek recorder berkali-kali, dan saat wawancara
berlangsung menjadi bukti bahwa prepare kami kurang maksimal. Dan yang
membuat kami bertambah malu adalah saat Prie GS berkata “Kenapa? Baterainya
habis ya?” duh. Kenapa harus Prie GS? Kenapa
bukan saat wawancara anak jalanan, atau pedagang pasar, atau siapalah asal
bukan para raja tulisan. Sepertinya
beliau saat berpengalaman dan mengerti sekali kendala-kendala reportase.
Beda lagi saat
kami mewawancarai salah satu alumni Polines yang dari tampangnya masih tak beda
jauh dari kami. Saat itu permasalahnya
seputar tender atribut warna illegal. Yang lucu, kami sering mengulang
pertanyaan yang sama. Di awal saya tanya
tentang A, selesai di jawab Mita mengulang lagi pertanyaan tersebut, dan
sebaliknya. Tambah anehnya lagi bukan
membenarkan arah pertanyaan malah spontah kami bersitegang “Lho tha, kan
tadi aku dah tanya itu” kata saya memotong wawancara “lho iya ta”
balas itha. Mas mas narasumber terheran melihat kami saling adu argumen sendiri
(heheheh menurut saya kami kurang professional, hmf).
Kami
mewawancarai berbagai kategori orang, sastrawan, penyiar, politikus, birokrat,
budayawan, komunitas, dan lain-lain.
Kami memotret berbagai gerak gerik kehidupan, tokoh, alam, jalan, pasar,
rambu-rambu, plang nama, yang esensinya belum tentu tercetak di produk
Dimensi. Perjalanan pulang dari
berkelana kami sering mencari warung makan mie ayam yang enak tapi murah. Mie
yang kami makan saat itu tetap terasa
beda dengan mie-mie yang saya makan sekarang, rasanya
selalu terkenang.
Dan
dikolaborasikan oleh Putri Nurwita dan Mila
Putri adalah
seorang yang saya kenal memiliki hati dan passion
terhadap tulisan. Putri lebih fleksible menghadapi rangkaian kata. Bisa
menjadi hard news, feature news, feature, dan
sepertinya beberapa sastra, hanya saja saya
kekurangan referensi soal sastra buatannya.
Di mata saya putri akrab dengan feature
news. Dan suka dengan isu sosial. Saya dan dia
lahir di tahun yang sama namun menghadapi tahun yang berbeda,
oleh karenanya saya kurang memahami betul bagaimana putri. Kami pernah
melakukan reportase bersama, tapi hanya beberapa kali. That’s Putri! She’s
simple, “easy going/take it easy” person & independent.
Dan terakhir
yang ingin saya sebut adalah Milla H.Zahra. Begitulah dia menuliskan namanya di
account FB. Mengingat nama Mila H Zahra saya jadi
teringat satu hal. Dahulu ketika saya PKL seorang staff karyawan di perushaan
tempat saya PKL bertanya “Cita-cita mau jadi apa, dek?”
kontan saya jawab “ Penulis,bu!” tegas saya. “waah bagus donk, namanya saja sudah seperti
penulis ..” lanjut beliau menyebutkan nama panjang saya. Saya sadar ungkapan itu tidak mengandung
keseriusan, tapi saya membuatnya unik karena setelahnya
saya mulai berfikir, apa nama saya pantas terpampang dalam sebuah buku sebagai pengarang? Kemudian iseng saya berfikir nama-nama
lain yang kiranya pantas terpampang. Semua nama saya masukkan, Putri
Nurwita, Amitha Cahya , Ershad Yanuar, Wahyu setyadi, Mila H Zahra dan bahkan
Pilih Kondang Paramarta…ha
dan semuanya. Ternyata nama-nama
tersebut cukup unik dan pantas-pantas saja andai kata
kelak menjadi penulis besar, hahahahaa... sebuah hal kecil yang tidak terlalu penting tapi unik bagi
saya. Karena hal itupula saya menuliskan
nama saya full tanpa samaran disetiap account
social yang saya miliki. Pemahaman
saya adalah itu salah satu bentuk promosi dimana nama saya
secara perlahan diingat oleh masyarakat kebanyakan.
Back
to
Mila. Jujur saya kekurangan referensi
mengenai tulisan Mila. Bahkan untuk menulis tentang Mila saya harus membuka
kembali majalah terbitan angkatannya.
Secara keorganisasionalan kami terpaut 2 tahun jadi tak banyak interaksi
langsung yang kami lakukan, bahkan untuk sekedar reportase. Saya melihat Mila sebagai sosok yang pandai
dalam tulisan. Satu yang saya suka
darinya adalah dia bisa berfikir lebih dari orang biasa fikir(itu menurut
saya). Salah satu cerpennya yang pernah
saya baca sangat imaginatif, mungkin dia
menyukai hal–hal absurb. Bila
di implementasikan kedalam sebuah karya, yang muncul adalah Buku-buku sejenis
Harry Potter, atau karya sastra macam
Tetralogi Akar dari Dee (Dewi Lestari). Soal sastra sendiri, saya tidak banyak menemui karya sastranya. Mungkin celotehannya di fb bisa dikatakan
sebagai salah satu sisi kecil sastranya Mila :P Beda kan update statusnya Putri dan Mila
:D
Dimata saya Putri dan Mila adalah para indie writer. Mereka sangat kuat pada ide, dan lebih diperkuat pada gaya bahasa.
Mereka juga rapih dalam mengeksekusi ide menjadi tulisan. Saya mengakui ide
tulisan mereka lebih kuat dari tulisan saya.
Secara pribadi pula saya lebih
suka menyebut mereka sebagai independener dibandingkan idealiser karena, dalam kaca mata saya idealis terdengar dekat
dengan egois. Suatu paham yang mementingkan diri sendiri, menganggap dirinyalah
yang benar dan memandang rendah pemahaman oranglain. Jadi Putri dan Mila itu independen dan bukan
Idealis, buat saya! Seperti halnya crew dimensi yang lain secara pribadi saya
lebih prefer dengan kata Independen dibanding Idealis.
Begitulah Dimensi,
bukan hanya di isi oleh mereka saja yang aktif dalam setiap kegiatan, atau para
pakar-pakar organisasi yang mungkin banyak disebut-sebut dan di elu-elukan namanya
dari tulisan teman-teman yang lain. Tapi
juga orang-orang yang mencintai huruf dan kata semenjak mereka lahir. Yang turut
mewarnai dan mengisi produk Dimensi. Yang pada awal kali melihat Dimensi
sebagai rumah yang selama ini mereka idam-idamkan. Dan entah apa kata dunia!
Penghianat, pecundang, penakut, looser atau apalah! Tak mengurangi kecintaan
mereka akan huruf dan kata yang memang sudah terbangun semenjak mereka hadir di
dunia ini.
Anggota Redaksi memang bukan hanya 5 orang seperti yang saya sebutkan diatas, tentulah banyak dan mungkin tak bisa saya sebut
satu persatu, tapi semua anggota redaksi memposisikan diri mereka sebagai reporter dan writer yang baik. Slalu berusaha menulis sesuai koridor dan
kaidah tatanan bahasa (meski banyak yang harus di edit) dan berusaha memenuhi
renggang waktu deadline yang ada.
Bila mana saya ditanya mana yang lebih saya sukai saat menjadi reporter
ataukah sebagai Pimred saya akan kembalikan pada koridor fungsionalnya.
Menurut saya keduanya memiliki arah dan tujuan masing-masing walaupun
tetap dalam satu wadah&satu tatanan yang sama. Saat menjadi reporter saya merasa lebih bebas
berekspresi, memaksimalkan ide dan menginterpretasikannya dalam bentuk
tulisan. Bisa dengan kata lain, lebih
fokus pada hal tertentu. Sedangkan
menjadi Pimred itu adalah pembelajaran ketidakegoisan hidup,plan control
management yang tak luput dari deadline.
Untuk “Dimensi dalam Dimensi” itu sendiri
saya harus membuka seluruh produk Dimensi yang saya punya. Majalah dan tabloid saya baca kembali, saya
malah baru teringat pernah menulis beberapa artikel yang saya sendir lupa. Lho
pernah nulis ini toh? Ko’ begini yah? Knp arahnya seperti itu? Kenapa ga’ tak
lanjutin lebih dalam? Duh parah banget editannya, wew bahasanya
uiIhhh,,,,haahahah gila neh article!! Begitulah exspresi yang saya
dapat. Memang banyak kekurangan, dan
tidak sempurna apalagi itu hampir 5 tahun berlalu. Tapi join di Dimensi adalah sebuah pembelajaran dan
pengalaman hidup, karena Dimensi adalah sebuah miniatur kehidupan. Because -The
Purpose of life is to live it, to taste experience to the utmost, to reach
eagerly without fear for newer and richer experience
Comments
Post a Comment