Part 1
Tanjung Pinang to Singapore
Jika kau masih berpikir bahwa untuk ke
luar negeri itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang berharta banyak, maka kau
terbukti butuh piknik dengan membawa sebotol air mineral. Cara terbaik
menghadirkan pikiran yang baik adalah dengan terlebih dulu menyingkirkan
pikiran-pikiran buruk. Jika otakmu hanya dipenuhi keirian atas postingan
liburan milik temanmu, maka kau pun lupa untuk memulai liburanmu sendiri.
Saya
masih percaya bahwa popmie adalah penyelamat terbaik seperjalanan. Tepat satu
minggu yang lalu, saya menghitung dan menata jumlah popmie dan menggabungkannya
dengan beberapa roti basah dalam satu plastik. Satu buah koper, tas punggung
mini, tas punggung besar, kamera, tripod, syal, paspor, dan beberapa dokumen
yang lain. Saya menghitung ulang secara berulang. Perjalanan kali ini mendadak
dan lebih ringan dengan kehadiran partner in crime yaitu, suami. Dia handling
tiket pesawat, jadwal kapal, booking hotel, prepare gps, map, rute MRT dan
menyempatkan diri ke money changer. Sementara saya dalam 1 x 24 jam hanya
diberi tugas untuk memutuskan baju mana saja yang akan saya pakai dan
menentukan wilayah hotel. Itu pun gagal.
Bahkan
tugas terakhir seringan itu pun tak bisa saya selesaikan dengan baik. Sementara
hostel saya memilih Chinatown. Akhirnya setelah menjelaskan detail alasan, dia
menyetujui kami stay di sana. Saya mengajukan 3 alasan, pertama, karena dulu
saya belum sempat berkunjung ke sana. Kedua, Chinatown cukup strategis, lumayan
dekat dengan Merlion Park dan Sentosa Island bila dibandingkan dengan little
india ataupun Bugis. Dan yang terakhir, kami datang mendekati imlek. Alasan
terakhir terasa briliant. Tentulah Chinatown lebih hidup dan menyala menjelang
imlek. Banyak acara-acara, festival dan stand-stand khusus imlek yang
menjadikan kita manusia paling beruntung bisa mengunjunginya. Pasti seru, pikir saya.
Tepat
sabtu lalu kami mendarat di Bandar Udara Raja Haji Fisabilillah International
Airport Tanjung Pinang. Rencana awal kami menyeberang ke Singapore dengan kapal
Majestic fast ferry pukul 13.30 dan berlabuh pukul 16.30. Seharusnya, menjelang
matahari terbenam, kami sudah dapat menikmati sunset di Marina Bay. Setelahnya kami akan berjalan ke arah Utara menuju Chinatown. Di sana kami akan
menghentikan langkah sejenak di Chinatown food street. Menjajal beberapa menu
makanan yang terjangkau dan mengambil beberapa foto. Setelah puas dan lelah,
kami menuju Hostel Burrow yang letaknya tepat di area foodstreet. Kami tak
perlu khawatir karena sudah membookingnya via traveloka beberapa hari
sebelumnya. Kami akan melepas lelah, memasak indomie dan membuat teh untuk
menghangatkan badan. Kami sama-sama merasa tak perlu mandi, dan memutuskan untuk
melakukannya dikeesokan hari.
Sayang
itu hanyalah rencana yang berbuah khayal. Faktanya, kami terlambat setengah jam
menuju counter check in. Si embak yang berparas cantik itu menolak tiket kami.
Dengan amat terpaksa kami harus ikut kapal berikutnya yaitu pukul 17.30 plus
membayar biaya tambahan sebesar 30 ribu per orang. Dengan selisih waktu
Indonesia - Singapura yaitu sekitar 1 jam, tentu kami kemalaman jika harus
bersikukuh untuk menjalankan rencana awal. Mau tak mau saya harus menyusun
jadwal ulang perjalanan sembari menggerutu. Beberapa menit kemudian saya sadar,
mau liburan kok menggerutu. Saya pun malu dengan diri sendiri.
Soal
biaya, kami membayar 440 ribu per orang untuk pulang pergi. Harga tersebut
lebih murah ketimbang membeli tiket sekali jalan sebesar 257 ribu rupiah. Dalam
satu hari ada tiga jadwal keberangkatan kapal, pagi, siang dan sore. Kapanpun
itu, pastikan kamu sudah berada di counter check in minimal satu jam sebelum
keberangkatan. Itu pun jika kamu keberatan mendengarkan embak-embak counter
check in mengumpat "memangnya tak bisa membaca tulisan yang tertera
ditiket?" seolah kita ini buta huruf.
Angin
laut tak cukup bersahabat, beberapa kali membuat kapal cepat kami terguncang.
Saya tak merisaukan bilamana kapal yang saya tumpangi tenggelam atau terbalik,
itu tak lebih menyakitkan ketimbang menahan rasa mual luar biasa, ingin muntah
tapi tak bisa. Sejak dulu memang saya percaya bahwa rasa mual adalah cobaan
luar biasa bagi umat manusia.
Kami
sampai di pelabuhan Tanah Merah tepat waktu. Berjalan agak cepat agar tak lebih kemalaman dan ingin segera mencari
segelas minuman hangat. Tapi rintangan kedua menghadang. Ketika melewati bagian
imigrasi, saya mudah saja lewat. Tapi entah, apa yang menarik dari suami saya
sehingga mereka harus menahannya terlebih dahulu. Saya menunggu di seberang
tempat cek imigrasi dengan perut dingin. 15 menit berlalu, dingin sudah
merambah ke sekujur tubuh. Saya mulai gelisah, suami tak kelihatan karena harus
masuk ke dalam sebuah ruangan interogasi. Sesekali suami keluar bersama 2 orang
petugas, melihat ke arah saya dan kembali berbincang.
Tepat
ketika rasa kesal saya hampir menemui ujung, seorang petugas imigrasi menuju ke
arah saya. Ia seorang keturunan India, berkata dengan bahasa melayu yang tak
begitu lancar. Katanya saya harus pergi sementara rekan saya mereka tahan. Saya
berusaha menanyakan ada masalah apa, kata dia ini masalah imigrasi. Saya yang
mulai bingung menghujaninya dengan berbagai penolakan ; tidak bisa Pak, saya
tidak bisa pergi sendiri. Saya tidak ada kenalan siapa-siapa di tempat ini,
Saya pergi bersama dia jadi kita harus sama-sama, pokoknya saya tidak bisa
pergi tanpa dia.
Si
petugas bersikukuh bahwa saya harus segera pergi meninggalkan pelabuhan. Saya meminta ditahan bersama suami tetapi
ditolak. Saya meminta menemuinya pun ditolak. Yang ada dalam benak saya ketika
itu, ini orang gila apa, Hp saya tidak bisa digunakan untuk menghubungi nomor
Indonesia, saya tidak dibolehkan ketemu suami, dan disuruh masuk ke Singapura
sendirian sementara duit juga suami yang bawa. Saya benar-benar panik. Imigrasi
begini amat ya, pekik saya. Bahkan saya tidak diberi penjelasan apa kesalahan
suami saya. Saya kembali ngeyel, minta diketemukan dengan suami. Tepat ketika
saya bilang “Saya sendirian tidak ada kenalan di sini.”
“Kamu
tidak sendirian, kamu bersama mereka, bukan?” Kata petugas sembari menunjuk ke
arah wanita bersama 2 orang anak yang juga sedang menunggu teman. “Bukan Pak,
Saya tidak kenal. Saya istrinya Pak, kita berangkat bersama harus pulang
bersama,” saya kembali meyakinkan. Di situlah si petugas menyadari ada yang
salah, tepat ketika saya bilang istri. Orang yang ditahan di imigrasi dan
diputuskan tidak bisa masuk ke Singapura adalah seorang wanita, lalu bagaimana
bisa saya menikah dengan wanita?
Dan setelah ditelusuri, ternyata si petugas salah orang. Oh my god, damn! Dia hampir membuat saya syok, dan untung saya masih ngeyel di situ dan belum beranjak pergi. Setelah menunggu kembali, akhirnya suami lolos dari imigrasi. Hingga sekarang masih misteri mengapa ia harus ditahan dan ditanya ini itu. Apa mungkin karena tanah kelahiran dia Sukoharjo atau karena ia sedikit berjenggot (padahal cuma sedikit) atau karena memang baru pertama kali ke sana? Rupanya jalur kapal lebih ketat secara imigrasi, Berhati-hatilah kamu yang berjenggot ataupun yang berkelahiran Sukoharjo.
Dan setelah ditelusuri, ternyata si petugas salah orang. Oh my god, damn! Dia hampir membuat saya syok, dan untung saya masih ngeyel di situ dan belum beranjak pergi. Setelah menunggu kembali, akhirnya suami lolos dari imigrasi. Hingga sekarang masih misteri mengapa ia harus ditahan dan ditanya ini itu. Apa mungkin karena tanah kelahiran dia Sukoharjo atau karena ia sedikit berjenggot (padahal cuma sedikit) atau karena memang baru pertama kali ke sana? Rupanya jalur kapal lebih ketat secara imigrasi, Berhati-hatilah kamu yang berjenggot ataupun yang berkelahiran Sukoharjo.
Apapun
itu akhirnya saya masuk kembali ke Singapura melalui jalur lain. Kapal laut.
Part selanjutnya -> Singapore Jalur Backpacker (Part 2)
Comments
Post a Comment