Rei menatap mata Teddy Bear di hadapannya.
Mencoba mentransformasikan apa yang ada di pikirannya. Si Teddy layaknya boneka sejati, tak bergerak
pula tak bernafas. Tapi mata Teddy seolah menatap balik ke Rei, dia mengerti
kegalauan yang tengah melanda tuannya.
“Kau tau aku menggilai kembang api?” kata Rei, akhirnya. Tangannya menekuk
kepala Teddy untuk membuktikan bahwa dia tidak sedang berbicara sendiri.
“Dan kau tahu setiap malam pergantian tahun aku selalu menikmatinya?”
kembali Rei menganggukkan Teddy.
“Kembang api itu menyimpan harapan banyak orang, dia hanya dimunculkan
dalam acara-acara tertentu, simbol kebahagiaan. Bahkan, kembang api itu mutlak
kebahagiaan, tak seorang pun pilu ketika melihatnya, bukan?” Teddy hanya
terdiam.
Rei berhenti berkata beberapa saat. Sisa
angin malam dalam kamarnya perlahan menelusuri pori-pori, merasuk membalut
hatinya yang tengah kalut. Malam ini tak
akan ada kembang api, bahkan dalam imanjinasi Rei. Rei enggan melihat kembang
api, untuk pertama kali dalam hidupnya Rei merasa, keindahan kembang api itu
semu. Semua hanya sesaat.
Sama seperti Radar, yang datang lalu pergi. “Untuk apa datang bila untuk
pergi” berkali-kali Rei bergumam, terus mengulang-ulang kata-kata itu. Tengah
malam sebagai titik pergantian tahun belum lewat, Rei masih dirudung kecemasan
antara pergi melihat kembang api atau mendekam dalam kamarnya yang sunyi
bersama Teddy.
Kali ini tidak ada 2 setan, tapi ribuan setan bergeming menggelayuti
otaknya. Rei di hadapkan pada dua
pilihan, melihat keindahan sesaat atau menghentikan kecintaanya terhadap
kembang api. Tapi justru kegelisahan itu membuat Rei terpaku, tak
bergerak. Kakinya seolah terpaku seperti
raganya yang lemah tanpa harap.
“Jadi apa yang ingin kau kenang di tahun 2013 ini, Rei?” sebuah suara tak
bertuan mencuri perhatiannya.
“Tahun 2013 mungkin menjadi salah satu tahun terbaik dalam hidupku,”
“Kenapa?”
“Banyak petualangan liar, banyak perubahan drastis, banyak pergantian hati,
mindset, plan, dan banyak jatuh bangun di akhirnya,”
“Ada yang kau sesali di tahun ini?”
Rei terdiam. Ia terbiasa menjawab
dengan lantang ‘Tidak’ untuk semua model pertanyaan seperti itu. Rei tidak suka menyesal, betapapun pedih dan
sakit yang dia rasakan. Namun, kali ini Rei diam, Rei ragu untuk menjawab ‘tidak’.
“Adakah yang kamu sesali di tahun ini?” tanya suara itu lagi.
Rei masih terdiam. Perlahan butiran
bening mengalir dari muara penglihatannya.
Rei menerawang, entah kemana.
“Iya..ada yang aku sesali,” kata Rei pasrah.
“Apa?”
“Aku menyesal atas peristiwa 2 bulan terakhir ini yang tak bisa
kuselamatkan. Aku sungguh, sungguh menyesal...” Rei menangkap butiran air mata
yang hampir menetes dari sudut dagunya.
“Itu yang membuatmu terdiam di ruang sempit ini? itu yang membuatmu enggan
melihat kembang api?”
Rei terdiam, dia sendiri tak mengerti apa benar yang dikatakan suara itu,
apa benar dia tak berani melihat kembang hanya karena rasa penyesalan itu?
“Baiklah, ceritakan hal paling indah di tahun ini,” ucap suara itu, mencoba
mengalihkan perhatian.
Rei tersenyum lalu berkata,
“Aku mencoba hal baru yang tak pernah kucoba seumur hidupku, lalu aku
menuruti kata hatiku untuk mencari kebebasan dan melakukan apa yang aku
inginkan, dan aku....mengenal Radar Langit.”
“Radar Langit? Rumahmu ini?”
Rei mengangguk.
“Baiklah, ada baiknya kau lupakan masa lalu pahitmu, lalu menyusun plan
baru untuk tahun 2014,” kata suara itu penuh kebijakan.
Rei menggeleng. Ini belum selesai.
“Aku belum siap bertemu 2014, banyak hal yang belum selesai di tahun ini,
andai aku bisa mengembalikan waktu,”
“Owh, itu bukan Rei yang kukenal, tak mungkin Rei berucap seperti itu,”
“Kau tahu, tahun ini aneh, aku merasa menjadi diriku sendiri, aku
benar-benar merajai diriku sendiri, melakukan apapun yang kumau, tapi.....di
akhir-akhir aku merasa tidak menjadi diriku, itu seperti bukan aku, itu bukan
aku....” mata Rei menerawang.
“Itu kamu...itu kamu yang lain, yang belum pernah kamu lihat sebelumnya,
jangan kau benci dirimu yang seperti itu,” telinga Rei menyimak setiap kata
yang dia dengar, namun matanya masih melihat jauh, menyesali masa lalu.
“Kau tahu Rei, pengenalanmu terhadap dirimu sendiri tak akan pernah
berujung, dalam dan jauh, bahkan sangat jauh, kau tak akan pernah bisa bilang
kamu adalah A. Selama kamu masih
bernafas dan hidup di dunia ini selama itulah perjalanan pencarian diri yang
harus kamu lalui. Diri seseorang adalah
keabadian misteri yang oleh dirinya sendiri tak akan pernah tersibak, orang
hanya bisa melihat beberapa sisi karena sisi yang lain dinamis terus berubah,
bergejolak.”
“Apa dia membenciku?” akhirnya Rei berucap.
“Siapa? Radar?”
Rei mengangguk.
“Selama kamu masih percaya padanya, selama itu dia akan menjaga kepercayaan
itu,menurutku dia terlalu baik untuk membenci,”
“Hmm...mungkin.”
“Menurutku pertama kau harus menolong dirimu sendiri terlebih dahulu dengan
memaafkan semua kesalahanmu sendiri, dan tak ada hal lain yang lebih baik untuk
dilakukan selain memperbaiki masa depan, biarkan Radar memilih jalannya
sendiri, dia cukup matang untuk melakukannya,”
Setiap dia mendengar kata Radar, air matanya kembali mengalir. Tetap saja penyesalan itu masih menghantuinya.
“Tuntaskan kepedihanmu malam ini, waktu tak bisa menunggu. Percaya badai pasti berlalu, percaya doa tak
memisahkan jarak, percaya keajaiban Tuhan masih ada,” Rei bisa merasakan suara
itu berputar mengitari tubuhnya.
Rei mengendus ke dua telapak tangannya.
Mencoba menguasai diri dengan menarik nafas dalam-dalam. “Ya Allah, jadikan aku sebaik-baiknya wanita,
jadikan aku wanita yang kuat, sabar dan salehah, yang kuat atas semua
ketentuan-Mu. Ampuni kelemahan hati ini Ya Allah.....”
Rei memejamkan mata, kembali menarik nafas dalam-dalam. “Amin....”
Dentum suara kembang api mulai berdatangan, Rei memang tak melihat
bagaimana percikan api itu melesat ke angkasa lalu merekah dan jatuh kembali ke
bumi dalam serpihan abu. Tapi Rei merasa harapan itu masih ada.
Comments
Post a Comment