Perjalanan
terindah bukanlah yang terjauh, bukan pula yang termahal,
Perjalanan
terindah adalah, ketika kita mampu menemukan sebuah hati di tempat yang sedang kita
jelajahi
~ Ire Rosana~
Tanggal merah adalah syurganya para pekerja. Sebuah waktu ‘keramat’ yang oleh kebanyakan
orang digunakan untuk menjelajahi rencana yang telah disusun jauh-jauh hari.
Dan rencana kami, ingin mengisi waktu ‘keramat’ tersebut di sebuah kota kecil
bernama, Solo.
1 Sura 1435 H......
“Cieee...cieeee...yang mau kencan ke Solo....”suara kakak
mengagetkan saya yang tengah sibuk berdandan.
“Bukan kencan Mbaaaak....!Sama temeeennn...!” kata saya
kesal.
“E..cieee...kencan nih yeee....,” godanya lagi.
“Iiih...bukan kencan!” saya tambah kesal.
“Kencan!”
“Bukan!”
“Kencan! Kencan! Kencan!”
“Bukan!bukan! bukaaaannn....!” tolak saya histeris.
Kakak saya terpingkal-pingkal mendapati muka saya
kesal. Tiba-tiba dia mendekatkan
wajahnya ke wajah saya. Suaranya berubah lirih dan mistis,
“Hati-hati, ini su..ro...naa..n lho....,” Suaranya
membuat bulu kuduk saya berdiri.
“Ga’ takut weeeek....!” kata saya sembari menjulurkan
lidah.
Kakak ipar saya memang sedikit usil. Dia baru akan berhenti menjahili saya ketika
saya sudah terlihat kesal, marah, malu dan terjerat dalam pusaran rencana
usilnya.
Memang masih banyak warga yang percaya mitos mengenai 1 Suro. Konon katanya bahaya pergi-pergi
atau berkunjung ke tempat wisata pada tanggal 1 Suro, akan terjadi malapetaka. Padahal menurut saya, tidak ada yang
mistis di tanggal tersebut, tahun baru islam justru tanggal baik, penuh berkah.
Dan saya mengawali perjalanan hari itu dengan ‘Bismillah....’
Hari itu cerah, jalanan ramah, tidak begitu ramai pun
tidak begitu sepi. Itu pertama kalinya
saya dan teman saya ke Solo, berdua saja dengan motor.
Lalu lintas terlihat mulai padat, tanda kami sudah dekat
dengan kota tujuan. Butuh 2 jam untuk sampai di Solo. Pertama, kami mulai
menelusuri jalan utama Solo, jalan Slamet Riyadi.
Mata saya tak hentinya menoleh ke kanan kiri. Ada yang
menarik di sana. Sudut-sudut nyentrik
terlihat di sepanjang jalan utama Slamet
Riyadi. Sebuah bentuk kecil dari perhatian kota Solo terhadap warisan leluhur. Rupanya kota ini menghargai dan peduli
terhadap budaya. Terlihat beberapa papan nama toko yang ditulis dengan huruf
Jawa. Ada juga tokoh-tokoh perwayangan
yang terpampang besar di tembok depan sebuah mall, atau 2 topeng besar yang
terpampang di pojok trotar. Kota solo mencoba membentuk karakter dengan
membubuhkan unsur-unsur budaya di setiap sudut.
Beruntung kami menggunakan motor dan saya duduk di
belakang, jadi teman saya tidak melihat raut muka saya yang sedari tadi
cengar-cengir sambil memotret jalanan.
Habisnya lucu dan unik melihat tokoh perwayangan di tempel di depan mall,
bukan di gedung budaya lho, ini di ‘mall’.
Jalan mulai rapat oleh kendaraan-kendaraan yang berlalu
lalang. Perhatian saya tersita pada sosok unik yang mondar-mandir di Jl. Slamet
Riyadi. Tak hanya satu, lama-lama jumlahnya semakin banyak. Rupanya mereka
adalah tukang parkir. Uniknya, mereka semua berseragam lurik. Bercelana hitam lengkap dengan blankon hitam. Ternyata upaya pemberian seragam lurik tersebut bermakna tertentu. Baju lurik mengisyaratkan keramahan,
tujuannya agar para juru parkir tidak arogan dan tetap menjunjung tinggi
keramahan yang sejauh ini masih menjadi ciri khas kota Solo. Blankon hitam itu sendiri berfilosofi menep, jadi orang yang memakai akan
berpikiran menep atau tenang. Hihi..lucu dan unik ya?!
Kami sengaja menggunakan google sebagai pemandu wisata kami.
Rupanya google benar seorang
pemandu wisata yang baik. Kami bisa menemukan penjelasan-penjelasan dari website maupun blog para traveler yang
pernah mengunjungi Solo sebelumnya. Hal tersebut sangat berperan dalam
menjelaskan apa yang tengah kita lihat ketika itu dan sekaligus membunuh rasa
penasaran.
Tak terasa waktu Dhuhur memanggil kami untuk menghentikan
perjalanan. Sigap teman saya mengambil belokan untuk menemukan sebuah masjid
agar kami bisa segera salat.
Mudah bagi kami menemukan masjid, tanpa sengaja yang kami
temukan adalah masjid Al Wustho Mangkunegaran.
Bangunannya yang nyentrik menarik perhatian kami untuk berbelok. Teman saya
bergegas menuju area wudhu sedang saya masih asyik memperhatikan dan sesekali
memotret bangunan dengan arsitekturnya yang khas.
Awal ketika kami berhenti saya sedikit kesusahan
menemukan nama masjid tersebut, kalau masjid-masjid pada umumnya namanya
tertera jelas pada papan nama, kali ini saya tidak bisa menemukannya. Tulisan
yang terpajang pada depan masjid semua berbentuk kaligrafi arab, baru kemudian
setelah saya masuk lebih dalam, saya menemukan prasasti yang menyebutkan nama
masjid tersebut. Rupanya masjid Mangkunegaran
sudah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah. Luas keseluruhannya kurang
lebih 4200 m².
Semakin penasaran, saya melangkah ke arah selatan, di
sana terdapat bangunan kecil berbentuk bundar.
Namanya Maligin. Konon katanya
maligin dulunya sering digunakan
untuk tempat sunatan/khitanan. Bentuknya
cukup unik dan indah, hanya saja saya mengernyit ketika mencoba membayangkan
aktivitas khitan di Maligin. Hiii...,
saya mencoba memotong imajinasi agar tidak semakin larut.
Selain langit-langitnya yang unik dan tempat salat utama,
masjid Mangkunegaran mempunyai markis
dengan panjang 5 x 5 meter dengan hiasan kaligrafi arab. Tulisan-tulisan arab
tersebut menarik perhatian saya untuk mencoba membacanya, walaupun akhirnya saya
gagal.
Di sebelah utara masjid terdapat kantor pengurus masjid.
Selain kantor, tempat tersebut juga berfungsi sebagai perpustakaan umat. Ukuranya kurang lebih 9 x 6 meter.
Di depan kantor pengurus terdapat sebuah menara dengan
tinggi 25 meter dan diameter 2 meter.
Dari menara itulah suara adzan berkumandang ke area sekitar.
“Mau sewa mukena Mbak?” suara seorang nenek mengagetkan
saya.
“Mboten Bu,
(Tidak Bu)” jawab saya.
“Ooo sampun
salat nggih? ( Oooo, sudah salat ya?)”
tanyanya lagi.
“Kebetulan lagi mboten
salat, (Kebetulan sedang tidak salat)” Jawab saya sembari duduk kurang lebih 4
meter dari tempat si nenek menggelar persewaan mukenanya.
Teman saya sudah selesai salat. Sepertinya kami masih
malas beranjak, masih ingin rehat dan menikmati ketenangan di masjid itu. Tiba-tiba si nenek bercerita lantang karena
jarak kami lumayan jauh.
“Kula mpun
disik-disikan manggon mriki Mbak. Nek mboten cepet-cepet nggeh kenggonan
kancane,(Saya sudah cepet-cepetan bertempat di sini Mbak. Kalau tidak cepat-cepat ya ditempati teman)”
si nenek bersuara dari tempat duduknya.
Rupanya beliau ingin mengajak saya mengobrol.
“Wonten sekawan
masjid Mbak, mriki seng setunggal, (Ada 4 masjid Mbak, di sini salah
satunya)” si nenek melanjutkan ceritanya.
Saya tersenyum sembari menyimak apa yang beliau ceritakan dari jauh. Si
nenek bercerita semakin jauh, beliau bercerita mengenai imam masjid
Mangkunegaran, juga mengenai keakraban MU dan Muhammadiyah di daerah tersebut.
Saya melihat seorang ibu yang juga pengunjung tengah
beristirahat di emperan masjid tak jauh dari tempat si nenek berdekam. Ibu tersebut memberi saya kode, membuat garis
miring di depan dahinya dengan jari telunjuk, ‘gila’. Saya hanya tersenyum,
menurut saya si nenek tidak gila. Dia hanya mencoba memberi keramahan pada
pengunjung dengan cerita mengenai masjid yang kala itu saya tapaki. Lihat,
betapa gembiranya si nenek ketika saya mau menoleh untuk sekadar mendengar
beliau bercerita sembari memberikan feedback
positif dengan sedikit-sedikit menanggapi.
Hari kian siang, kami pun berencana melanjutkan
perjalanan agar tidak kesorean.
Sewaktu saya mengulurkan uang parkir, si penjaga yang masih muda mengarahkan
saya untuk memasukkannya langsung ke dalam kota amal.
Karena buta dengan kota Solo, saya pun pasrah kemanapun
teman saya membawa saya pergi. Sekalipun
dia mau menculik saya, 100% saya jamin berhasil,hehehe.
“Kemana nih, Re?” sesekali dia bertanya.
“Haduh, kemana ya mas, terserah kamu, aku ikut aja deh,”
jawab saya sekenanya, pasrah.
Sebenarnya saya kasihan sama dia karena semalam masih
kerja lembur, belum lagi besok harus masuk kerja lagi, pasti lelah. Entah apa yang bisa saya lakukan untuk
menyenangkannya, sekadar terima kasih karena sudah menyediakan waktunya untuk
saya.
Tiba-tiba saya menangkap kegembiraan dari suaranya ketika
di depan kami telah berdiri gagah gerbang menuju keraton. Alhamdulillah, ndak nyasar, hehe.
Rupanya kota Solo benar-benar ramah. Seramah kelancaran kami menemukan tujuan
tanpa radar. Kota ini seolah tak ingin
memperumit pun menyesatkan pengunjungnya. Jalur selanjutnya seperti air,
tinggal diikuti maka kami akan sampai pada muara pertama yaitu, parkiran
keraton.
Hari itu keraton kasunanan nampak ramai. Banyak turis lokal berkunjung dan bergantian mencoba
mengabadikan bukti kedatangan mereka dengan berfoto bersama. Kebetulan kami pas parkir di dekat kompleks alun-alun lor/utara. Bila terus berjalan, nantinya akan menemukan
kompleks-kompleks berikutnya yang berjumlah 6 kompleks. Setelah alun-alun lor/utara, kemudian Kompleks Sasana Sumewa,
Kompleks Sitihinggil Lor/Utara,
Kompleks Kamandungan Lor/Utara,
Kompleks Sri Manganti,
Kompleks Kedhaton,
Kompleks Kamagangan,
Kompleks Srimanganti Kidul/Selatan dan Kemandungan Kidul/Selatan,
serta Kompleks Sitihinggil Kidul
dan Alun-alun Kidul.
“Re, berhenti di situ deh,” rupanya saya
mau dipotret, duh, malu sebenarnya.
“Ehmm...keliatan kurang seksi...” kata
saya sedih melihat hasil jepretannya.
Teman saya hanya tersenyum, semoga bukan
senyum iba.
Entah mengapa
saya selalu tertarik dengan langit-langit pada bangunan Solo, menurut saya unik
sekaligus menjadi ciri khas dari suatu daerah. Bila kita jeli, beda daerah,
beda pula cara orang mengaktualisasi langit-langit.
Tentu kami tak
ingin kehilangan momen mengabadikan ‘langit-langit’ Solo sebelum kami beralih
untuk mengisi perut yang mulai mendengangkan lagu keroncong Bengawan Solo. Bila
lagu bengawan Solo berdendang di perut saya, maka berarti lagu Stasiun balapan
milik Didi Kempot berdendang di perut teman saya, hahaha....
Tiba-tiba mata saya tertuju pada keramaian di area
sebelah,
“Mas, ini pasar Klewer ya?” tebak saya.
“Iya,” jawabnya.
“Tau dari mana?” kala itu kami hanya menemukan nama usang
berhuruf Jawa saja dan tidak menemukan arti plat nama tersebut dalam bahasa
Indonesia.
“Saya bisa baca aksara Jawa lho, itu bacanya ‘Klewer’,”
jawabnya dengan percaya diri.
“Ah masa’ sih, ga’ percaya” saya menjulurkan lidah bermaksud
menggoda.
Kami terus berjalan sebelum pada akhirnya menemukan plat dengan
bahasa Indonesia, terbaca Pasar Klewer terpampang megah di atap bangunan
pasar. Baru deh saya percaya, hehe.
Owh ini rupanya pasar yang tersohor dan menjadi buah bibir di antara
teman-teman saya?
Bagi para penggila batik murah dan pecinta shopping murah pasti kenal dengan pasar
klewer. Tak ayal beberapa teman saya
yang mempunyai bisnis online pun
mengambil stock barang dari tempat
ini. Kata mereka, di sini harus berani menawar supaya dapat harga paling
minim. Untuk resheller bisa membeli dengan cara partai besar sehingga harga
benar-benar bisa ditekan seminim mungkin.
Pasar Klewer siang
itu ramai. Buggh..terdengar dentuman orang tengah menurunkan lusinan batik dari mobil
box. Di pelipir
jalan terlihat para pedagang oleh-oleh menggelar dagangannya.
Jalanan di
sekitarnya penuh dilalui orang, kendaraan bermotor dan becak. Becak di solo cukup unik, pada bagian sisinya
berbentuk seperti kupu-kupu, beda dengan becak Semarang dan Jogja yang ke dua
sisinya melengkung biasa.
Akhirnya kami
menuntaskan rasa lapar di sebuah area makan lesehan di dekat pasar Klewer. Selesai makan siang, kami
menuju ke masjid Agung keraton Surakarta. Namanya juga Agung/ageng, pastinya
besar. Cukup untuk menampung banyak jemaat.
Masjid ini ramai benar pengunjungnya, mungkin letaknya yang strategis
dekat dengan tempat wisata, jadi selain salat, pengunjung bisa beristirahat/ leyeh-leyeh di serambi masjid.
Sebelum masuk masjid terdapat gapura besar bernama gapura
paduraksa. Warna dan arsitekturnya mengingatkan saya pada
beberapa tempat di dunia, tepatnya di India dan di perancis (rada jauh beda
sih,he). Tapi lucu dan unik. Di sebelah kanan terdapat menara tinggi,
fungsinya sama seperti menara masjid Mangkunegaran pusat suara adzan.
“Mas, di sepanjang jalan itu keren banget lho kalo’ buat foto-foto,” kata saya sembari menunjuk area jalan di balik gapura utama.
“Di sebelah mana? Yang itu?” kata dia memastikan.
“He em, bagus untuk foto ala model-model gitu, dandan
pake’ gamis,” maksud hati saya mau bilang ‘prewedding’ tapi feeling saya bilang jangan, ntar salah tangkep lagi dia.
Serambi masjid memiliki langit-langit berwarna biru,
simbol kedamaian, mungkin itu kali alasan orang nyaman berada di bawahnya
(pikir saya).
Tapi saya perhatikan, baik di keraton, masjid Agung, dan
beberapa bangunan yang saya temui didominasi warna biru. Perhatikan hasil
jepretan saya berikut ;
Nah, bagi pecinta warna biru pasti suka kolaborasi warna
kesukaan mereka membalut bangunan-bangunan bersejarah. Kesannya menjadi ada keunikan dalam
kedamaian. Sebuah kolaborasi eksotis,
bukan? Hihihi....
Waktu sudah merapat menuju sore. Kami memutuskan kembali ke kota kami karna
takut kemalaman. Sebelum pulang, sesuai
musim, kami dimandikan terlebih dahulu oleh hujan Solo. Setidaknya, kami tidak sempat menginap tapi
sempat mencicipi air dan mandi di tengah jalan, hahaha. Namun, air yang mengalir tak membawa larut
kisah perjalanan pertama kami ke Solo. Pribadi untuk saya, akan menjadi
kenangan manis sepanjang sejarah hidup, hmm...senyum-senyum.
Di perjalanan pulang, saya sempat memejamkan mata, berdoa
agar waktu berhenti sejenak, tapi gagal,hehehehe. Karna waktu tak mungkin berhenti, untuk
mematri kenangan hari itu, saya rangkai kembali dalam imajinasi
potongan-potongan kejadian saat berada di Solo. Tiba-tiba saya tertawa geli mengingat
pembicaraan dengan nenek persewaan mukena, begini katanya;
“Iku sopo? Adek
nopo Calon? (Itu siapa? Adek atau calon?)” si nenek bertanya menunjuk
laki-laki yang duduk setengah meter dari saya.
“Mboten ko’ Bu,
rencang...(Bukan kok Bu, teman...)” saya perhatikan teman saya sepertinya
tidak mendengar.
“Ojo ngomong konco! Wes...kene! tak suwunke
marang gusti Allah ben diparingi restu! (Jangan bilang teman, Udah sini,
Saya mintakan ke Allah biar direstui!)” kata nenek lantang. Saya mlongo.
“Diamini Mbak!”
perintah dia selanjutnya. Begitu
tegasnya si nenek berkata, refleks saya bilang,
“Eh iya, Amin!” ups! Kenapa saya ikuti perintah si nenek?
Saya menoleh ke teman saya, sepertinya dia tidak mendengar.
Tapi, kenapa rasanya ada sesuatu yang terjadi di hati saya. Si nenek
rupanya membantu saya menjelaskan sebuah perasaan yang selama ini terpendam,
tidak saya sadari dan cenderung saya hindari. Hmm....dan sepertinya saya butuh
berdamai dengan perasaan itu.
Perjalanan pulang dengan penuh isi, baik di otak maupun
di hati. Tangan saya terkadang harus mencengkeram kuat jaket orang di depan
saya karena sepertinya dia kurang bisa membedakan mana sepeda motor dan mana jetcoster. Tapi, wuuuuuhuuu.....sebuah perasaan lega hadir di antara pacuan
adrenalin. Alhamdulillah, jetcoster
tiba tepat waktu dan selamat sampai tujuan, hehehehe.
Sebenarnya saya sudah menemukan kesan terindah tentang
Solo sedari pertama kali kaki saya berpijak di tanah Solo, tepatnya di Masjid
Mangkunegaran dan bertemu si nenek. Buat saya solo tidak hanya menghadirkan
keramahan orang dan kota, tapi solo memiliki sebuah hati yang ternyata berhasil
menuntun hati yang lain untuk bisa mengenali dirinya sendiri.
Semoga bisa ke Solo lagi untuk waktu yang lebih lama.
Dengan siapa?? Wallahu 'alam..! eh,
tapi saya berharap dengan orang yang sama, hehehe. Semoga!
Hati adalah
mahkota manusia, bila kita punya sebuah hati, itu artinya kita punya segalanya.
~Ire Rosana
Ullail~
Comments
Post a Comment