Irero's doc |
Kata Mario Teguh, jodoh adalah cerminan
diri kita. Orang baik akan berjodoh dengan orang baik, pun sebaliknya. Bila ditelan mentah, maka timbul berbagai
pertanyaan dalam benak orang-orang, lalu mengapa si A yang bertabiat buruk
berjodoh dengan si B yang sangat baik Pak? Begitulah komentar orang di bawah
status MT.
Entah mengapa saya merasa ucapan Pak MT
lebih banyak menggiring manusia untuk menjadi lebih baik, melebihi ketepatan
makna dari kata-kata itu sendiri. Dengan berkata jodoh adalah cermin maka orang
akan berlomba-lomba menjadi baik karena setiap orang ingin jodoh yang baik,
bahkan terbaik. Itu hanya satu misal, banyak singgungan hal lain dari MT yang
tujuannya adalah membentuk manusia menjadi lebih baik, dan bukan uraian konkret
atas kenyataan yang benar terjadi.
Apa saya tengah mengatakan Pak MT
berbohong untuk kebaikan? Tidak juga. Bila ditelaah lebih jauh, hakikat makna
jodoh adalah benar cermin diri namun perlu perenungan tambahan untuk
menguraikan makna tersebut secara lebih mendalam.
Ini kali ke dua saya bahas soal
jodoh. Yang pertama adalah beberapa
waktu lalu, ketika saya mengawang-awang dan menerka-nerka kira-kira siapa jodoh saya.
Lalu sekarang kata tanya berubah menjadi, apakah benar dia jodoh saya?
Kemungkinan nanti yang ke tiga akan saya tulis pasca menikah. Dan itulah jawaban kebenaran kenyataan dan
hasil perkiraan dari 2 artikel sebelumnya.
Saya tidak melihat cermin kesamaan
ketika dihadapkan dengan orang yang tengah dekat dengan saya. Hanya saja saya menyadari memang ada cermin
keseimbangan di antara kami. Apa yang
tidak ada padanya, ada pada diri saya, pun sebaliknya. Jadi apa benar jodoh itu
kelengkapan? Saling melengkapi? Benar, bila itu berada pada ranah persepsi.
Sejauh ini, tolok ukur jodoh adalah
pernikahan. Kepada siapa kita menikah, dialah jodoh dari Tuhan. Lalu wanita beramai-ramai menyeret pasangan
mereka ke pelaminan demi membuktikan kebenaran akan jodohnya. Walaupun maksud sebenarnya tak sesempit itu. Sayangnya
konsep semacam itu abstrak dan hanya dikaui oleh wanita. Pria lebih logis dalam
urusan mengurai kata jodoh. Sepertinya juga, pria lebih suka membahas bagaimana
seorang wanita menapaki suatu hubungan ketimbang menanggapi pertanyaan apakah
ia jodoh saya.
Baru saja saya baca novel Sabtu Bersama
Bapak milik Aditya Mulya. Di sana saya menemukan part di mana saya cukup
terhenyak. Dikatakan bahwa intinya pasangan yang baik itu bukan menutupi
kekurangan. Menutupi kekurangan kita adalah bukan beban pasangan kita. Itu
tanggung jawab masing-masing individu. Menjadi kuat adalah bukan beban pasangan
kita, itu kewajiban masing-masing individu untuk menguatkan dirinya sendiri dan
membuat mereka menjadi lebih baik.
Memilih pasangan yang sama-sama kuat untuk bisa saling menguatkan adalah
terbaik. Mendengar itu kita seperti kelimpahan power yak? Rasanya ingin kuat
untuk diri sendiri dan untuk pasangan juga nantinya. Sudut pandang yang
menarik.
Karena penulisnya pria, secara tidak
langsung banyak sudut pandang seorang pria menyoal membina hubungan dan bagaimana
peranan mereka dalam keluarga. Secara tidak langsung pula saya jadi mempelajari
bagaimana seorang pria berpikir. Seperti konsep menikah. Kaum hawa akan
cenderung mendesak untuk dipinang dengan kata andalan “Aku siap melarat asalkan
kita bersama,” kata ratapan yang penuh paksaan. Sebagai wanita, saya mengurai
kata itu menjadi lebih jelas di mana ada ketakutan akan kehilangan, keinginan
untuk lega, dan emosional rasa yang kurang bisa dikendalikan.
Di sisi lain kaum pria akan mencoba
menjawab bijak dengan berkata “Lelaki yang baik tak akan membiarkan wanitanya
melarat,” secara sudut pandang pria adalah bermaksud untuk menguatkan diri
terlebih dahulu dari segi finansial, bagi mereka nikah tak cukup hanya bermodalkan
cinta. Secara logis, pemenuhan akan kebutuhan bukanlah fana dan butuh bukti
konkret terlebih dulu baru seorang pria percaya diri melamar sang pujaan
hati.
Bagi sebagian wanita, jawaban semacam
itu adalah bentuk pelarian dan ketakutan si pria. Tapi yang benar terjadi
adalah wanita lebih menggunakan hati sedangkan pria lebih kepada logika.
Sayangnya di dunia ini hanya ada 2 jenis kelamin, ya mereka, pria dan wanita.
Kita kaum wanita pada umumnya akan mengiyakan alasan wanita, dan pria pun akan
mendukung alasan pria. Lah, apa perlu
kita panggil (maaf) waria untuk memutuskannya?
Sebenarnya tidak sekaku itu juga, setidaknya
melalui pembahasan 2 sudut pandang, si wanita menjadi mengerti dan memahami jalan
pikiran pria dan bukan semata-mata menyalahkan dan menuduhnya memberi harapan
palsu. Pria juga jadi lebih mengerti bagaimana takutnya seorang wanita akan
kehilangan pria yang ia cintai di samping perasaan khawatir akan masa depan
yang tak jelas. Dengan saling memposisikan diri, setidaknya akan berpengaruh
pada pemikiran dan tindakan masing-masing.
Jadi siapakah sebenarnya jodoh itu?
benarkah ia hanya sebatas sudut pandang? Atau mungkin jodoh adalah suatu
kondisi kecocokan semata? Terkadang orang terlena mencari-cari arti dan makna
jodoh ketimbang memberi perhatian dan mengusahakan yang terbaik untuk untuk
pasangan yang sudah ada di hadapan mereka. Bilanglah seperti ini pada
pasanganmu “Entah kau jodohku, entah bukan, yang jelas aku menyayangimu dan
akan selalu mengupayakan yang terbaik untukmu.” Sepertinya begitu lebih baik.
artikel ini di tujukan untuk wanita/ pria?
ReplyDeleteTidak ada tujuan, hanya sekadar pencerahan. Subyektif.
Deletewhat a nice article, thank you!
ReplyDeleteOwwh really thank you Mark
Delete